Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku pergauli?” Beliau menjawab, “Ibumu! Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab lagi, “Ibumu!” Ia balik bertanya, “Siapa lagi?” Rasul kembali menjawab, “Ibumu!” Ia kembali bertanya, “Lalu siapa lagi?” Beliau menjawab, “Bapakmu!”
[Dikeluarkan oleh Asy-Syaikhani Bukhari-Muslim]
Ada kemungkinan rosulullah sekarang sudah tidak maksum lagi terkait dengan hadits diatas. Bebarapa keluarga seharusnya sekarang dibalik demikian petuah yang lebih bijaksana untuk beberapa keluarga :
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku pergauli?” Beliau menjawab, “Bapakmumu! Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab lagi, “Bapakmumu!” Ia balik bertanya, “Siapa lagi?” Rasul kembali menjawab, “Bapakmumu!” Ia kembali bertanya, “Lalu siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumumu!”
[Dikeluarkan oleh Petualangharakah]
ADA APA DENGAN ANDA INI KOK SAMPAI MEMBUAT SEBUAH PETUAH TAPI SUDAH MENJADI HADITS PALSU. WAH GAWAT TUH ANCAMAN ATAU AZABNYA.
TERUS APA HUBUNGAN KEMAKSUMAN AMA HADITS DI ATAS,WONG rASULULLAH ITU DAH DIMAAFKAN SEMUA KESALAHANNYA OLEH ALLAH. BAHKAN BILA BELIAU MELAKUKAN KESALAHAN LANGSUNG DITEGUR ALLAH . TENTUNYA BILA BELAIU MENGATAKAN YANG SALAH TENTUNYA BELIAU LANGSUNG DITEGUR ALLAH KAN.
BAHKAN HADITS DI ATAS TENTANG KEUTAMAAN IBU ITU MALAH MASUK AKAL LAH COBA IBU ITU YANG MENGANDUNG DENGAN MEMPERTARUHKAN NYAMANYA BAHKAN BILA MEMBANTU SAJA TAK BISA MENGGANTIKAN SEMUA AMALAN IBU KITA KAN
Astaghfirullahal ‘adziim, saya mengaku salah, karena sedikit kalap. jazakallahu akhi fahrul…
Saya kalap karena pernah tahu tatkala seorang ibu tidak perhatian sama anaknya, malas mengurus anaknya, dan lebih sering yang mengajarkan kebaikan2x adalah bapaknya, yang sering mengasuhnya adalah bapaknya. Nah dibeberapa keluarga yang seperti ini, tidak salah kan lebih menghormati bapaknya yang alim daripada ibunya yang fasiq.
SO Rosulullah akan selalu maksum selamanya.
BISAKAH SEMUA ORANG YANG ALIM mau mengakui salah jika memang salah, sebagaimana para salafush shaleh.
Bisakah salafi tobat dari kecenderungan murji’ahnya sebagaimana hizbut tahrir tobat dari kecenderungan mu’tazilahnya, demikian juga yang lainnya.
Emang menurut antum murjiah itu apa sih dan kenapa salafi disebut murjiah ya?
Teruntuk bang fahrul, jawabannya disini : http://millahibrahim.wordpress.com/salafy-exposed-dakwah-salafy-dakwah-murjiah/
Wah klo situs itu mah dah pernh ana komentari tajam2 deh wonk keliatang banget klo situs itu Khawrij banget wuih……
Fahrul bilang orang2x yang jihad fisabilillah sebagai khowarij, aneh antum. Orang2x yang berjihad di afghanistan, palestina, moro, dll dibilang khawarij, astaghfirullah. Justru antumlah yang murjiah, membela pemerintahan yang tak menegakkan syariah islam.
Wah antum sama aja ngatain saudara perjauangan antum PKS orang kafir juga donk he…he….wong kan mereka masuk parlemen dan partai pendukung pemerintah yang tak menerapkan hukum syariah he…he…. kayak pepatah senjata makan tuan akh he…he…
Wong ana hanya nyinggung website gak ngatain organisasi jihad di negara lain he…he…^_^
Ha…ha… ngatain org murjiah tapi bela partai pemerintah sekuler he…he… apa ente jg bukan murjiah jg he…he….
pantes aja kata nabi barang siapa yang mengatakan kafir maka akan mengenai slah satunya. Nah buktinya antum sendiri he…he…
Ha…ha… ngatain org murjiah tapi bela partai pemerintah sekuler he…he… apa ente jg bukan murjiah jg he…he….
pantes aja kata nabi barang siapa yang mengatakan kafir maka akan mengenai slah satunya. Nah buktinya antum sendiri he…he…bilang ana murjiah malah ente kena sendiri KENA DEH…..
Bedanya salafy sama PKS adalah salafy tidak berani amar ma’ruf nahi mungkar didepan penguasa. Bedanya PKS sama Alqaeda adalah PKS amar ma’ruf nahi mungkar dengan perang lapangan dan juga dengan membenarkan arah demokrasi….
@Petulangharakah
Wah pak itu gayak khwarij tulen,bukannya ada dalilnya yaitu
BAGAIMANA CARA MENASEHATI PENGUASA YANG ZHALIM DI DALAM ISLAM
“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa tentang sesuatu urusan, maka janganlah ia tampakkan nasehatnya itu kepadanya secara terang-terangan (di depan umum). Akan tetapi hendaklah ia memegang tangannya, lalu ia bersembunyi dengannya (yakni nasehati dia secara sembunyi tidak ada yang mengetahuinya kecuali engkau dan dia). Maka kalau dia menerima nasehatnya, maka itulah (yang dikehendaki). Tetapi kalau dia tidak mau menerima nasehatnya, maka sesungguhnya ia telah menunaikan kewajiban menasehatinya.”
HADITS SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Ahmad (3/403-404 no.15408 dan ini lafazhnya) dan Ibnu Abi ‘Ashim di kitabnya “As Sunnah” (no.1096, 1098 & 1099) dan lain-lain.
Ayo itu perintah Rasulullah loh wong PKS di depan org banyak klo Rasulullah nyuruhnya secara sembunyi. Sungguh njahil ente he…he… mo bantah tapi gak bisa he…he…
Ternyata beginilah cara salafi mengikuti sunnah Rasulullah yaitu BAGAIMANA CARA MENASEHATI PENGUASA YANG ZHALIM DI DALAM ISLAM
“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa tentang sesuatu urusan, maka janganlah ia tampakkan nasehatnya itu kepadanya secara terang-terangan (di depan umum). Akan tetapi hendaklah ia memegang tangannya, lalu ia bersembunyi dengannya (yakni nasehati dia secara sembunyi tidak ada yang mengetahuinya kecuali engkau dan dia). Maka kalau dia menerima nasehatnya, maka itulah (yang dikehendaki). Tetapi kalau dia tidak mau menerima nasehatnya, maka sesungguhnya ia telah menunaikan kewajiban menasehatinya.”
HADITS SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Ahmad (3/403-404 no.15408 dan ini lafazhnya) dan Ibnu Abi ‘Ashim di kitabnya “As Sunnah” (no.1096, 1098 & 1099) dan lain-lain.
FIKIH HADITS
Hadits yang mulia ini mengajarkan kepada kita salah satu adab dan akhlak di dalam Islam yang sangat tinggi dan mulia dalam ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar, menasehati dan memperingati penguasa yang zhalim. Nabi yang mulia –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepada kita apabila kita ingin menasehati atau memperingati penguasa yang zhalim, nasehatilah secara tersembunyi. Jangalah menasehati atau memperingatinya secara terang-terangan di depan umum, di mimbar atau di majelis terbuka dengan membuka aibnya. Karena yang demikian akan menafikan maksud dan tujuan dari nasehat atau peringatan itu sendiri kepada penguasa yang zhalim. Bahkan akan menambah kezhaliman dan kemarahannya khususnya kepada orang-orang yang memperingatinya. Sebab maksud dan tujuan menasehati atau memperingati penguasa yang zhalim ialah agar dia sadar akan kezhalimannya kemudian bertaubat dan beramal shalih. Inilah maksud dari perintah Allah Tabaaraka wa Ta’ala kepada Musa dan Harun untuk berda’wah memperingati Fir’aun:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” [QS. Thaahaa: 43-44].
Di dalam ayat yang mulia ini terdapat ibrah yang sangat besar dalam berda’wah kepada penguasa yang zhalim. Fir’aun ketika itu adalah seorang yang sangat melampaui batas, sombong bahkan mengaku dirinya sebagai tuhan. Sedangkan Musa adalah seorang Nabi yang besar dan mulia di sisi Allah bersama saudaranya Harun. Meskipun demikian Allah tetap memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk berbicara kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lemah lembut agar mengena dan masuk ke dalam hati Fir’aun. Yang tujuannya agar supaya Fir’aun sadar, ingat akan kezhalimannya, kemudian tunduk dan takut kepada Allah. Kalau terhadap Fir’aun, Allah telah memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk berbicara dengan kata-kata yang lemah lembut, maka tentunya penguasa muslim yang zhalim lebih berhak mendengar kata-kata yang lemah lembut dari seorang alim yang akan menasehati dan memperingatinya.
Sekali lagi, hadits yang mulia ini bagaikan petir yang menyambar kaum harakah islamiyyah yang telah menghalalkan dan menyukai bahkan hampir-hampir mereka mewajibkan berdemontrasi, berorasi dan unjuk rasa kepada penguasa. Walaupun mereka menamakannya demontrasi tertib dan islamiy!!!
“Sampai disitulah ilmu mereka!”. [QS.an-Najm:30]
Sumber: Disalin ulang dari buku Al Masail jilid 4, al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat –hafizhahullah-, Masalah ke 91, Penerbit Darussunnah, Cet.2, Hal.220-222.
Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa [Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah (Bag. 1)]
oleh Sofyan Chalid Ruray pada 05 Juli 2010 jam 17:24
بسم الله الرحمن الرحيم
Telah dimaklumi bersama bahwa merubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:
من رأى منكم منكراً فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 186)
Akan tetapi, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami bahwa untuk merubah kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah muslim tidak sama dengan merubah kemungkaran yang dilakukan oleh selainnya. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran yang dilakukan penguasa dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan oleh sebagian media massa. Mahasiswa pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tak ketinggalan pula para “aktivis Islam” atau “aktivis dakwah” melakukan “aksi damai” yang menurut mereka itulah demo Islami, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.
Namun yang sangat mengherankan, ada sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, pengikut sunnah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- pun turut serta melakukan demonstrasi (yang mereka namakan dengan aksi damai) dan mengkritik pemerintah muslim secara terang-terangan di media massa. Maka seperti apakah bimbingan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini?
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- yang ma’shum, yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Semua perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-, beliau bersabda:
من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]
Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia teladan kita –shallallahu’alaihi wa sallam- dalam menasihati penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadits di atas oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:
قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه
“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]
Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,
“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam hadits ini terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini semua dilakukan jika memungkinkan, namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]
Peringatan: Perkataan Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- pada bagian akhir yang kami garisbawahi di atas maksudnya adalah jika keadaan memaksa untuk itu (bukan pada semua keadaan) karena hal tersebut bukanlah kebiasaan para sahabat, sebagaimana perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- yang dijadikan dalil oleh hizbiyun untuk membolehkan menasihati pemerintah secara terang-terangan, yang insya Allah akan kami jawab dalam penjelasan syubhat dan bantahannya.
Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim, “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”. [Lihat As-Sailul Jarrar, (4/556)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]
Faqiihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]
Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak boleh dilakukan secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar diantaranya:
1. Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin (lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahumullah-)
2. Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi –rahimahumallah-)
3. Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini –rahimahullah-)
4. Membuat masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf (lihat penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-)
5. Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)
6. Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah-)
7. Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh Utsman -radhiyallahu’anhu- (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dan juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dalam Mukhtashor Shahih Muslim, hal. 335)
8. Menghinakan sulthan Allah (lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah-)
9. Munculnya riya’ dalam diri pelakunya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin -rahimahullah-)
10. Menyelisihi dalil dan jalan As-Salafus Shalih
11. Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij)
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.
(Artikel ini dialihtuliskan untuk umum dari artikel khusus kami di http://www.almakassari.com)
Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa [Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah (Bag. 2)]
oleh Sofyan Chalid Ruray pada 06 Juli 2010 jam 10:58
بسم الله الرحمن الرحيم
Mewaspadai Kesesatan Khawarij
Menasihati penguasa secara terang-terangan sama dengan pemberontakan yang merupakan karakter Khawarij, yakni satu sekte sesat yang dikenal dengan sikap pemberontakannya kepada pemerintah muslim yang mereka anggap zalim dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Maka janganlah sampai engkau tergolong dalam kelompok Khawarij -wahai pencela pemerintah- yang telah diperingatkan oleh Nabi –shallallahu’alaihi wa sallam-:
كلاب النار شر قتلى تحت أديم السماء خير قتلى من قتلوه
“Mereka adalah anjing-anjing nereka; seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” [HR. At-Tirmidzi, (no. 3000), dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, (no. 3554)]
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’, seperti Khawarij.”
Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa muslim, sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga dengan lisan.
Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:
“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?” Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.
Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”
Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Bukan termasuk manhaj Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat artikel As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-, softcopy dari http://www.sahab.net]
Syubhat dan Bantahannya
Keterangan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta penjelasan para ulama pada bagian pertama, sekaligus sebagai bantahan terhadap tuduhan hizbiyun bahwa:
1. Ahlus Sunnah mendiamkan kemungkaran penguasa. Karena para ulama Ahlus Sunnah adalah budak penguasa yang kerjanya hanya mencari muka kepada penguasa
2. Mengapa Ahlus Sunnah mengharamkan demokrasi namun tetap menaati pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi!?
Semua syubhat ini telah terjawab dalam keterangan di atas, yang ringkasnya:
Pertama: Ahlus Sunnah tidak menasihati penguasa secara terang-terangan di depan khalayak bukan berarti diam dengan kemungkaran penguasa, bukan pula karena mencari muka kepada penguasa, tetapi karena mengikuti tuntunan Islam dalam menasihati penguasa.
Kedua: Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan secara serampangan terhadap pemerintah muslim yang terlibat dalam system kufur demokrasi atau yang tidak berhukum dengan syari’at Islam, karena ada syarat-syarat pengkafiran yang harus terpenuhi dan terangkatnya penghalang-penghalang. Olehnya, Ahlus Sunnah tetap menaati seorang pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi karena menganggapnya masih muslim.
Masih ada beberapa syubhat yang sering dilontarkan oleh hizbiyun dan ingin kami jelaskan bantahannya –insya Allah- demi untuk menghilangkan kekaburan dalam masalah ini:
Syubhat pertama: Menasihati penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan bukan pula karakter Khawarij
Dari penjelasan di atas, jelaslah kesalahan sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, namun menganggap bahwa menasihati penguasa dengan membicarakan aib-aib penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan karakter Khawarij, sebagaimana yang dikatakan penulis buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij?:
“Lebih dari itu, sekedar melakukan demonstrasi saja sudah dianggap sebagai tindak pemberontakan dan dikatakan sebagai Khawarij dan teroris. Hal ini tercermin dalam perkataan beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen), “Perlu ditekankan di sini, bahwa bentuk pemberontakan terhadap penguasa itu tidak hanya dalam bentuk gerakan fisik atau gerakan bersenjata saja”. Kemudian beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen) mengutip pendapat Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jazairi di buku Madarik An-Nazhar (tanpa penyebutan halaman) yang mengatakan, “Wal hasil, hanya sekedar memprovokasi massa untuk menentang penguasa muslim (walaupun penguasa tersebut seorang fasik) sudah layak dicap sebagai cara-cara khawarij.” [Jangan lihat buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, (hal. 224)]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab syubhat ini, dalam menjelaskan hadits tentang tuduhan kaum Khawarij kepada Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bahwa beliau belum berlaku adil dalam pembagian ghanimah. Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Ini merupakan dalil terbesar bahwa pemberontakan terhadap pemerintah bisa dengan senjata, ucapan dan komentar. Yakni, orang ini (Dzul Khuwaisirah) tidak mengangkat pedang melawan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, tetapi hanya sekedar mengingkari beliau (dengan ucapan).
Kami sangat memahami bahwa biasanya tidak akan terjadi pemberontakan dengan senjata, kecuali telah didahului oleh pemberontakan dengan kata-kata. Manusia tidaklah mungkin menyandang senjata mereka untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu yang dapat memprovokasi mereka. Pasti ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka, itulah ucapan (provokator). Maka pemberontakan kepada penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan sunnah dan kenyataan.” [Lihat Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, (hal. 96)]
Penjelasan di atas mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama Al-Qo’adiyah. Mereka ini tidak ikut mengangkat senjata melawan penguasa dalam pemberontakan berdarah, tetapi kerjaan mereka hanyalah memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa dengan bait-bait syair maupun orasi-orasi di mimbar bebas.
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari, Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, hal. 459, sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, hal. 20]
Bahkan sebenarnya merekalah yang paling berbahaya dan paling dahsyat fitnahnya, karena biasanya orang-orang yang bisa melakukan provokasi adalah yang memiliki sedikit ilmu yang dengannya dia menipu manusia. Seakan ia juga “termasuk dalam jajaran ulama terpandang”, sehingga disebutkan dalam satu atsar dari Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if –rahimahullah-, ia berkata: “Kelompok Al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 21)]
Syubhat kedua: Boleh menasihati penguasa secara terang-terangan jika kemungkaran tersebut dilakukan secara terang-terangan, dengan dalil perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu’anhu- dalam menasihati Marwan, walikota Madinah dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-
Adapun pembolehan menasihati penguasa secara terang-terangan, jika penyimpangan penguasa dilakukan terang-terangan sebagaimana dalam kisah sahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-, beliau berkata dalam salah satu fatwa beliau, “Karenanya, saya memandang jika perkara yang hendak disampaikan sebagai nasihat merupakan perkara zahir, jelas dan nampak dalam artian kemungkaran itu nampak dan jelas, maka tidak mengapa memberi nasehat kepada penguasa dengan cara berhadapan dengannya, atau melalui kolom opini di koran-koran (termasuk artikel), melalui mimbar-mimbar, atau dengan metode-metode lainnya jika kemungkaran tersebut jelas dan nampak di tengah-tengah manusia.”
Syubhat ini kami jawab dari beberapa sisi:
Pertama: Kalau fatwa ini benar dari beliau, maka beliau sendiri (dalam fatwa yang sama) telah memberikan batasan-batasan dan siapa yang berhak melakukannya, diantaranya:
1). Dengan memperhatikan maslahat dan mafsadat. Jika kita lihat mafsadat-mafsadat besar yang sangat mungkin ditimbulkan dari cara menasihati pemerintah dengan terang-terangan, tentunya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.
2). Bukan semua orang yang boleh melakukannya, tetapi para ulama yang benar-benar memiliki ilmu dalam masalah tersebut dan memiliki kedudukan dalam pandangan pemerintah dan masyarakat. Hal ini jelas dari perkataan beliau dan pendalilan beliau dengan kisah Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu’anhu-. Siapa Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, seorang ulama besar di kalangan sahabat dibandingkan dengan Marwan seorang Tabi’in[1]? Kedudukannya adalah guru (Sahabat) dan murid (Tabi’in). Demikian pula, tidak semua Sahabat dan Tabi’in yang hadir pada saat itu melakukan pengingkaran secara terang-terangan.
Kedua: Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, maka itu adalah perkara yang sangat mendesak dan sangat terkait dengan waktu yang singkat (yakni pelaksanaan shalat ‘ied) dan terjadi di depan matanya dan di depan khalayak ramai, sehingga tidak mungkin untuk ditunda. Karena kaidah yang disepakati, “Menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh”. Inilah maksud perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- yang kami garis bawahi di atas.
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menjelaskan perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- tersebut, “Perkataan beliau, “Ini semua dilakukan jika memungkinkan”, yakni jika memungkinkan seseorang menasihati penguasa secara rahasia, maka inilah yang wajib atasnya, tidak yang lainnya (yakni tidak boleh terang-terangan).”
“Adapun perkataan beliau (An-Nawawi), “Namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” Maknanya adalah, “Janganlah seseorang mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan, kecuali dalam keadaan sangat genting (daruroh syadidah).”
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) berkata dalam catatan kakinya, “Atas dasar inilah (yakni dalam keadaan darurat) dibawa perbuatan Salaf (dalam mengingkari kemungkaran penguasa terang-terangan), seperti kisah Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- bersama Marwan, walikota Madinah ketika ia mendahulukan khutbah atas shalat ‘ied. [Lihat Shahih Al-Bukhari (2/449 no. 956 bersama Fathul Bari kitab Al-’Idain, bab Al-Khuruj ilal Musholla bi ghayri Minbar]”
“Oleh karenanya, ketika ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- mengingkari perbuatan Hisyam -radhiyallahu’anhu- (yaitu, dengan menyampaikan hadits di atas) karena pengingkaran Hisyam terhadap kemungkaran penguasa secara terang-terangan, tanpa ada kebutuhan mendesak (darurat). Tidaklah yang dilakukan Hisyam -radhiyallahu’anhu-, kecuali tunduk (kepada hadits tersebut), wallahu A’lam.” (Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari http://www.sahab.net)
Ketiga: Pengingkaran Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- benar-benar di depan penguasa tersebut, sehingga memungkinkan bagi sang penguasa untuk mengambil faedah “secara langsung” dari nasihat beliau, atau sebaliknya sang penguasa bisa memberikan bantahan jika ia memiliki dalil atau pertimbangan khusus sebagai seorang pemimpin.
Adapun jika dengan menyebarkan artikel-artikel di media massa dan berorasi di mimbar-mimbar bebas yang tidak dihadiri oleh penguasa, maka belum tentu bisa dibaca atau didengarkan oleh penguasa (sebagai orang yang dinasihati), malah yang terjadi adalah ghibah atau buhtan, pencemaran nama baik dan provokasi untuk memberontak kepada penguasa. Bagaimana bisa seseorang mengharamkan ghibah dan pencemaran nama baik dirinya dan para tokoh idolanya sementara untuk penguasa dia bolehkan…Ma lakum kayfa tahkumun?!
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan, “Sesungguhnya mengingkari kemungkaran yang tersebar adalah hal yang dituntut dan tidak ada masalah dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah dalam pembahasan kita adalah pengingkaran terhadap seorang penguasa, seperti jika seseorang berpidato di masjid, kemudian ia berkata misalnya, “Negara (pemerintahnya) ini telah berbuat zhalim”, “Pemerintah telah melakukan (kesalahan)”, ia terus berbicara tentang kemungkaran penguasa dengan cara terang-terangan ini, padahal para penguasa tersebut tidak hadir dalam majelis itu. Jelas berbeda jika pemimpin atau penguasa yang ingin engkau nasihati itu ada di hadapan Anda dan ketika dia tidak ada. Karena semua pengingkaran secara terang-terangan yang dilakukan oleh generasi Salaf terjadi langsung di hadapan pemimpin atau penguasa. Bedanya, jika ia hadir, memungkinkan baginya untuk membela diri dan menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia yang benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika ia tidak hadir, tentunya ia tidak bisa membela diri dan ini termasuk kezhaliman. Maka wajib bagi setiap kita untuk tidak berbicara tentang kejelekan seorang penguasa tatkala ia tidak hadir. Olehnya, jika engkau sangat menginginkan kebaikan (bagi seorang penguasa) pergilah kepadanya, temuilah ia, lalu nasihati secara empat mata.” [Lihat Liqo’ Al-Babil Maftuh, pertemuan ke-62, hal. 46)
Keempat: Jika fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah- diterima secara mutlak tanpa ada batasan-batasan sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dan batasan-batasan lain yang dijelaskan oleh para ulama lainnya, maka hal tersebut sangat jelas bertentangan dengan dalil dan fatwa-fatwa para ulama lainnya sebagaimana yang kami nukil di atas. Oleh karena itu kami mengingatkan kepada saudara-saudara kami yang menasihati penguasa secara terang-terangan karena mengikuti fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah-. Ketahuilah –kami mencintai kebaikan untuk kalian sebagaimana kami cintai kebaikan itu untuk diri kami-:
Pertama: Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan (bahwa ada khilaf dalam masalah ini), bukankah yang terbaik bagi kita untuk berhati-hati dengan memilih jalan yang lebih selamat?!
Kedua: Jika kita mencari setiap keringanan para ulama, niscaya kita akan binasa, sebagaimana diriwayatkan dari sebagian Salaf, “Barangsiapa yang mencari-cari keringanan para ulama, maka dia telah mengarah kepada kemunafikan”.
Ketiga : Tidakkah kalian memikirkan mafsadat yang besar –terutama bagi orang-orang awam- jika pintu ini dibuka?!
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menerangkan, sedikitnya tiga kemungkaran besar yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika seseorang menasihati penguasa secara terang-terangan, padahal masih memungkinkan untuk dinasihati secara rahasia,
Pertama: Menyelisihi hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- yang memerintahkan untuk diam-diam dalam menasihati penguasa.
Kedua: Menyelisihi atsar-atsar dan manhaj Salaf, seperti atsar Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa dan selainnya radhiyallahu’anhum.
Ketiga: Menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Al-Bukhari)
(Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari http://www.sahab.net)
Syubhat ketiga: Tidak mungkin menasihati penguasa seperti hadits ‘Iyadh bin Ganm maupun atsar Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhum- di zaman ini, dikarenakan aturan protokoler pemerintahan modern terlalu berbelit-belit, sehingga tidak memungkinkan setiap orang bisa bertemu empat mata dengan seorang pejabat, maka terpaksa diambil jalan terakhir, yaitu dengan melakukan demonstrasi, tapi demo yang Islami atau aksi damai.
Menjawab syubhat ini kami katakan:
Pertama: Hadits ‘Iyadh bin Ganm dan atsar Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhum- itu tidak bermakna harus persis seperti teksnya, yaitu setiap orang yang ingin menasihati harus memegang tangan penguasa, menyepi dengannya atau bertemu empat mata dengannya. Masih ada cara lain yang dibolehkan, asalkan tidak terang-terangan, seperti penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah: menasihati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan.” (Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, hal. 27)
Kedua: Jika ternyata memang semua jalan yang disebutkan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah- tidak bisa sama sekali atau penguasa tidak mau menuruti nasihat dan merubah kebijakannya yang zalim, apakah kemudian boleh melakukan demonstrasi atau menyebar artikel nasihat dan teguran kepada pemerintah di media massa?
Jawabnya: Tetap tidak boleh, sebab hal tersebut bertentangan dengan dalil dan petunjuk Salaf dalam menghadapi keadaan semacam ini.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr –rahimahullah- berkata, “Jika tidak memungkinkan untuk menasihati penguasa (dengan cara yang syar’i), maka solusi akhirnya adalah sabar dan doa, karena dahulu mereka –yakni Sahabat- melarang dari mencaci penguasa”. Kemudian beliau menyebutkan sanad satu atsar dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, beliau (Anas) berkata, “Dahulu para pembesar Sahabat Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dari mencaci para penguasa.” [Lihat At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)]
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullah- berkata, “Demi Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezhaliman penguasa, maka tidak akan lama Allah Ta’ala mengangkat kezhaliman tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat senjata melawan penguasa yang zhalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian beliau membaca firman Allah:
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Maka sempurnalah kalimat Allah (janji-Nya) kepada Bani Israel disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat Madarikun Nazhor, (hal. 6)]
Penjelasan para ulama di atas dipahami dari banyak hadits Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, diantaranya sabda beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-:
من رأى من أميره شيئاً يكرهه فليصبر عليه ، فإنه من فارق الجماعة شبراً فمات إلا مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai (kemungkaran) yang ada pada pemimpin negaranya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas -radhiyallahu’anhuma-)
Juga sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:
إنكم سترون بعدي أثرة وأموراً تنكرونها قالوا: ما تأمرنا يا رسول الله قال: أدوا إليهم حقهم وسلوا الله حقكم
“Sesungguhnya kelak kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-)
Dan sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:
قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
“Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)
Maka jelaslah, ketika sudah tidak ada lagi solusi lain untuk merubah kemungkaran penguasa, tidak dibenarkan sama sekali melakukan demonstrasi, meskipun berupa aksi damai dan tidak pula dengan menyebar artikel dan berbicara tentang kejelekan penguasa di khalayak ramai, karena semua itu bertentangan dengan tuntunan Allah Ta’ala yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi, tidak ada dalam Islam istilah demonstrasi Islami. Adapun yang dituntunkan oleh teladan kita, Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para sahabat -radhiyallahu’anhum- adalah sabar dan doa.
Inilah sebaik-baiknya solusi bagi orang-orang yang beriman kepada ayat Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.
(Artikel ini dialihtuliskan untuk umum dari artikel khusus kami di http://www.almakassari.com)
Catatan:
[1] Meskipun Marwan lahir dua atau empat tahun setelah hijrahnya Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- ke Madinah, namun ia tidak pernah melihat Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-. Demikian pendapat Al-Imam Al-Bukhari –rahimahullah- [Lihat At-Tahdzib, (10/82/no. 167) dan At-Taqrib, (no. 6567)]
Bagaimana dengan seorang sahabiyah yang memprotes kebijakan umar di depan publik? dan umar menerima dengan lapang dada…. siapa yg paling tahu tafsir dan pelaksanaan hadits2 Rosululloh?kita apa sahabat?
Assalamu`alaikum
Bila atsar tersebut bertentangan dengan hadits shahih Rasulullah maka atsar tersebut dapat diabaikan. Inilah salh satu kaidah ilmu agung dari para ulama.
Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah)
Posted on 5 Juli 2010 by nasihatonline
بسم الله الرحمن الرحيم
Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa
(Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah)
Telah dimaklumi bersama bahwa merubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:
من رأى منكم منكراً فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 186)
Akan tetapi, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami bahwa untuk merubah kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah muslim tidak sama dengan merubah kemungkaran yang dilakukan oleh selainnya. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran yang dilakukan penguasa dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan oleh sebagian media massa. Mahasiswa pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tak ketinggalan pula para “aktivis Islam” atau “aktivis dakwah” melakukan “aksi damai” yang menurut mereka itulah demo Islami, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.
Namun yang sangat mengherankan, ada sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, pengikut sunnah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- pun turut serta melakukan demonstrasi (yang mereka namakan dengan aksi damai) dan mengkritik pemerintah muslim secara terang-terangan di media massa. Maka seperti apakah bimbingan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini?
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- yang ma’shum, yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Semua perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-, beliau bersabda:
من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]
Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia teladan kita –shallallahu’alaihi wa sallam- dalam menasihati penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadits di atas oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:
قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه
“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]
Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,
“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam hadits ini terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini semua dilakukan jika memungkinkan, namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]
Peringatan: Perkataan Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- pada bagian akhir yang kami garisbawahi di atas maksudnya adalah jika keadaan memaksa untuk itu (bukan pada semua keadaan) karena hal tersebut bukanlah kebiasaan para sahabat, sebagaimana perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- yang dijadikan dalil oleh hizbiyun untuk membolehkan menasihati pemerintah secara terang-terangan, yang insya Allah akan kami jawab dalam penjelasan syubhat dan bantahannya.
Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]
Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]
Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak boleh dilakukan secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar diantaranya:
Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin (lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahumullah-)
Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi –rahimahumallah-)
Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini –rahimahullah-)
Membuat masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf (lihat penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-)
Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)
Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah-)
Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh Utsman -radhiyallahu’anhu- (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dan juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dalam Mukhtashor Shahih Muslim, hal. 335)
Menghinakan sulthan Allah (lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah-)
Munculnya riya’ dalam diri pelakunya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin -rahimahullah-)
Menyelisihi dalil dan jalan As-Salafus Shalih
Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij)
Renungan Bagi para Pencela Pemerintah
Menasihati penguasa secara terang-terangan termasuk dalam kategori pemberontakan yang merupakan karakter Khawarij, yakni satu sekte sesat yang dikenal dengan sikap pemberontakannya kepada pemerintah muslim yang mereka anggap zalim dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Maka janganlah sampai engkau tergolong dalam kelompok Khawarij -wahai pencela pemerintah- yang telah diperingatkan oleh Nabi –shallallahu’alaihi wa sallam-:
كلاب النار شر قتلى تحت أديم السماء خير قتلى من قتلوه
“Mereka adalah anjing-anjing neraka; seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” [HR. At-Tirmidzi, (no. 3000), dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, (no. 3554)]
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’, seperti Khawarij.”
Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa muslim, sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga dengan lisan.
Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:
“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?” Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.
Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”
Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Bukan termasuk manhaj Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat artikel As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-, softcopy dari http://www.sahab.net]
Syubhat dan Bantahannya
Keterangan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta penjelasan para ulama di atas sekaligus sebagai bantahan terhadap tuduhan hizbiyun bahwa:
Ahlus Sunnah mendiamkan kemungkaran penguasa. Karena para ulama Ahlus Sunnah adalah budak penguasa yang kerjanya hanya mencari muka kepada penguasa
Mengapa Ahlus Sunnah mengharamkan demokrasi namun tetap menaati pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi!?
Semua syubhat ini telah terjawab dalam keterangan di atas, yang ringkasnya:
Pertama: Ahlus Sunnah tidak menasihati penguasa secara terang-terangan di depan khalayak bukan berarti diam dengan kemungkaran penguasa, bukan pula karena mencari muka kepada penguasa, tetapi karena mengikuti tuntunan Islam dalam menasihati penguasa.
Kedua: Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan secara serampangan terhadap pemerintah muslim yang terlibat dalam system kufur demokrasi atau yang tidak berhukum dengan syari’at Islam, karena ada syarat-syarat pengkafiran yang harus terpenuhi dan terangkatnya penghalang-penghalang. Olehnya, Ahlus Sunnah tetap menaati seorang pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi karena menganggapnya masih muslim.
Masih ada beberapa syubhat yang sering dilontarkan oleh hizbiyun dan ingin kami jelaskan bantahannya –insya Allah- demi untuk menghilangkan kekaburan dalam masalah ini:
Syubhat pertama: Menasihati penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan bukan pula karakter Khawarij
Dari penjelasan di atas, jelaslah kesalahan sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, namun menganggap bahwa menasihati penguasa dengan membicarakan aib-aib penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan karakter Khawarij, sebagaimana yang dikatakan penulis buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij?:
“Lebih dari itu, sekedar melakukan demonstrasi saja sudah dianggap sebagai tindak pemberontakan dan dikatakan sebagai Khawarij dan teroris. Hal ini tercermin dalam perkataan beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen), “Perlu ditekankan di sini, bahwa bentuk pemberontakan terhadap penguasa itu tidak hanya dalam bentuk gerakan fisik atau gerakan bersenjata saja”. Kemudian beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen) mengutip pendapat Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jazairi di buku Madarik An-Nazhar (tanpa penyebutan halaman) yang mengatakan, “Wal hasil, hanya sekedar memprovokasi massa untuk menentang penguasa muslim (walaupun penguasa tersebut seorang fasik) sudah layak dicap sebagai cara-cara khawarij.” [Lihat Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, (hal. 224)]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullah- menjawab syubhat ini, dalam menjelaskan hadits tentang tuduhan kaum Khawarij kepada Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bahwa beliau belum berlaku adil dalam pembagian ghanimah. Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Ini merupakan dalil terbesar bahwa pemberontakan terhadap pemerintah bisa dengan senjata, ucapan dan komentar. Yakni, orang ini (Dzul Khuwaisirah) tidak mengangkat pedang melawan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, tetapi hanya sekedar mengingkari beliau (dengan ucapan).
Kami sangat memahami bahwa biasanya tidak akan terjadi pemberontakan dengan senjata, kecuali telah didahului oleh pemberontakan dengan kata-kata. Manusia tidaklah mungkin menyandang senjata mereka untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu yang dapat memprovokasi mereka. Pasti ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka, itulah ucapan (provokator). Maka pemberontakan kepada penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan sunnah dan kenyataan.” [Lihat Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, (hal. 96)]
Penjelasan di atas mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama Al-Qo’adiyah. Mereka ini tidak ikut mengangkat senjata melawan penguasa dalam pemberontakan berdarah, tetapi kerjaan mereka hanyalah memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa dengan bait-bait syair maupun orasi-orasi di mimbar bebas.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari, oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, hal. 459, sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, hal. 20]
Bahkan sebenarnya merekalah yang paling berbahaya dan paling dahsyat fitnahnya, karena biasanya orang-orang yang bisa melakukan provokasi adalah yang memiliki sedikit ilmu yang dengannya dia menipu manusia. Seakan ia juga “termasuk dalam jajaran ulama terpandang”, sehingga disebutkan dalam satu atsar dari Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if –rahimahullah-, ia berkata: “Kelompok al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 21)]
Syubhat kedua: Boleh menasihati penguasa secara terang-terangan jika kemungkaran tersebut dilakukan secara terang-terangan, dengan dalil perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu’anhu- dalam menasihati Marwan, walikota Madinah dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-
Adapun pembolehan menasihati penguasa secara terang-terangan, jika penyimpangan penguasa dilakukan terang-terangan sebagaimana dalam kisah sahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-, beliau berkata dalam salah satu fatwa beliau, “Karenanya, saya memandang jika perkara yang hendak disampaikan sebagai nasihat merupakan perkara zahir, jelas dan nampak dalam artian kemungkaran itu nampak dan jelas, maka tidak mengapa memberi nasehat kepada penguasa dengan cara berhadapan dengannya, atau melalui kolom opini di koran-koran (termasuk artikel), melalui mimbar-mimbar, atau dengan metode-metode lainnya jika kemungkaran tersebut jelas dan nampak di tengah-tengah manusia.”
Syubhat ini kami jawab dari beberapa sisi:
Pertama: Kalau fatwa ini benar dari beliau, maka beliau sendiri (dalam fatwa yang sama) telah memberikan batasan-batasan dan siapa yang berhak melakukannya, diantaranya:
1). Dengan memperhatikan maslahat dan mafsadat. Jika kita lihat mafsadat-mafsadat besar yang sangat mungkin ditimbulkan dari cara menasihati pemerintah dengan terang-terangan, tentunya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.
2). Bukan semua orang yang boleh melakukannya, tetapi para ulama yang benar-benar memiliki ilmu dalam masalah tersebut dan memiliki kedudukan dalam pandangan pemerintah dan masyarakat. Hal ini jelas dari perkataan beliau dan pendalilan beliau dengan kisah Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu’anhu-. Siapa Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, seorang ulama besar di kalangan sahabat dibandingkan dengan Marwan seorang Tabi’in[1]? Kedudukannya adalah guru (Sahabat) dan murid (Tabi’in). Demikian pula, tidak semua Sahabat dan Tabi’in yang hadir pada saat itu melakukan pengingkaran secara terang-terangan.
Kedua: Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, maka itu adalah perkara yang sangat mendesak dan sangat terkait dengan waktu yang singkat (yakni pelaksanaan shalat ‘ied) dan terjadi di depan matanya dan di depan khalayak ramai, sehingga tidak mungkin untuk ditunda. Karena kaidah yang disepakati, “Menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh”. Inilah maksud perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- yang kami garis bawahi di atas.
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menjelaskan perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- tersebut, “Perkataan beliau, “Ini semua dilakukan jika memungkinkan”, yakni jika memungkinkan seseorang menasihati penguasa secara rahasia, maka inilah yang wajib atasnya, tidak yang lainnya (yakni tidak boleh terang-terangan).”
“Adapun perkataan beliau (An-Nawawi), “Namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” Maknanya adalah, “Janganlah seseorang mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan, kecuali dalam keadaan sangat genting (daruroh syadidah).”
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) berkata dalam catatan kakinya, “Atas dasar inilah (yakni dalam keadaan darurat) dibawa perbuatan Salaf (dalam mengingkari kemungkaran penguasa terang-terangan), seperti kisah Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- bersama Marwan, walikota Madinah ketika ia mendahulukan khutbah atas shalat ‘ied.” [Lihat Shahih Al-Bukhari (2/449 no. 956 bersama Fathul Bari kitab Al-’Idain, bab Al-Khuruj ilal Musholla bi ghayri Minbar]
“Oleh karenanya, ketika ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- mengingkari perbuatan Hisyam -radhiyallahu’anhu- (yaitu, dengan menyampaikan hadits di atas) karena pengingkaran Hisyam terhadap kemungkaran penguasa secara terang-terangan, tanpa ada kebutuhan mendesak (darurat). Tidaklah yang dilakukan Hisyam -radhiyallahu’anhu-, kecuali tunduk (kepada hadits tersebut), wallahu A’lam.” (Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari http://www.sahab.net)
Ketiga: Pengingkaran Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu benar-benar di depan penguasa tersebut, sehingga memungkinkan bagi sang penguasa untuk mengambil faedah “secara langsung” dari nasihat beliau, atau sebaliknya sang penguasa bisa memberikan bantahan jika ia memiliki dalil atau pertimbangan khusus sebagai seorang pemimpin.
Adapun jika dengan menyebarkan artikel-artikel di media massa dan berorasi di mimbar-mimbar bebas yang tidak dihadiri oleh penguasa, maka belum tentu bisa dibaca atau didengarkan oleh penguasa (sebagai orang yang dinasihati), malah yang terjadi adalah ghibah atau buhtan, pencemaran nama baik dan provokasi untuk memberontak kepada penguasa. Bagaimana bisa seseorang mengharamkan ghibah dan pencemaran nama baik dirinya dan para tokoh idolanya sementara untuk penguasa dia bolehkan…Ma lakum kayfa tahkumun?!
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan, “Sesungguhnya mengingkari kemungkaran yang tersebar adalah hal yang dituntut dan tidak ada masalah dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah dalam pembahasan kita adalah pengingkaran terhadap seorang penguasa, seperti jika seseorang berpidato di masjid, kemudian ia berkata misalnya, “Negara (pemerintahnya) ini telah berbuat zhalim”, “Pemerintah telah melakukan (kesalahan)”, ia terus berbicara tentang kemungkaran penguasa dengan cara terang-terangan ini, padahal para penguasa tersebut tidak hadir dalam majelis itu. Jelas berbeda jika pemimpin atau penguasa yang ingin engkau nasihati itu ada di hadapan Anda dan ketika dia tidak ada. Karena semua pengingkaran secara terang-terangan yang dilakukan oleh generasi Salaf terjadi langsung di hadapan pemimpin atau penguasa. Bedanya, jika ia hadir, memungkinkan baginya untuk membela diri dan menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia yang benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika ia tidak hadir, tentunya ia tidak bisa membela diri dan ini termasuk kezhaliman. Maka wajib bagi setiap kita untuk tidak berbicara tentang kejelekan seorang penguasa tatkala ia tidak hadir. Olehnya, jika engkau sangat menginginkan kebaikan (bagi seorang penguasa) pergilah kepadanya, temuilah ia, lalu nasihati secara empat mata.” [Lihat Liqo’ Al-Babil Maftuh, pertemuan ke-62, hal. 46)
Keempat: Jika fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah- diterima secara mutlak tanpa ada batasan-batasan sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dan batasan-batasan lain yang dijelaskan oleh para ulama lainnya, maka hal tersebut sangat jelas bertentangan dengan dalil dan fatwa-fatwa para ulama lainnya sebagaimana yang kami nukil di atas. Oleh karena itu kami mengingatkan kepada saudara-saudara kami yang menasihati penguasa secara terang-terangan karena mengikuti fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah-. Ketahuilah –kami mencintai kebaikan untuk kalian sebagaimana kami cintai kebaikan itu untuk diri kami-:
Pertama: Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan (bahwa ada khilaf dalam masalah ini), bukankah yang terbaik bagi kita untuk berhati-hati dengan memilih jalan yang lebih selamat?!
Kedua: Jika kita mencari setiap keringanan para ulama, niscaya kita akan binasa, sebagaimana diriwayatkan dari sebagian Salaf, “Barangsiapa yang mencari-cari keringanan para ulama, maka dia telah mengarah kepada kemunafikan”.
Ketiga: Tidakkah kalian memikirkan mafsadat yang besar –terutama bagi orang-orang awam- jika pintu ini dibuka?!
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menerangkan, sedikitnya tiga kemungkaran besar yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika seseorang menasihati penguasa secara terang-terangan, padahal masih memungkinkan untuk dinasihati secara rahasia,
Pertama: Menyelisihi hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- yang memerintahkan untuk diam-diam dalam menasihati penguasa.
Kedua: Menyelisihi atsar-atsar dan manhaj Salaf, seperti atsar Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa dan selainnya radhiyallahu’anhum.
Ketiga: Menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Al-Bukhari)
(Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari http://www.sahab.net)
Syubhat ketiga: Tidak mungkin menasihati penguasa seperti hadits ‘Iyadh bin Ganm maupun atsar Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhum- di zaman ini, dikarenakan aturan protokoler pemerintahan modern terlalu berbelit-belit, sehingga tidak memungkinkan setiap orang bisa bertemu empat mata dengan seorang pejabat, maka terpaksa diambil jalan terakhir, yaitu dengan melakukan demonstrasi, tapi demo yang Islami atau aksi damai.
Menjawab syubhat ini kami katakan:
Pertama: Hadits ‘Iyadh bin Ganm dan atsar Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhum itu tidak bermakna harus persis seperti teksnya, yaitu setiap orang yang ingin menasihati harus memegang tangan penguasa, menyepi dengannya atau bertemu empat mata dengannya. Masih ada cara lain yang dibolehkan, asalkan tidak terang-terangan, seperti penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah: menasihati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan.” (Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, hal. 27)
Kedua: Jika ternyata memang semua jalan yang disebutkan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah- tidak bisa sama sekali atau penguasa tidak mau menuruti nasihat dan merubah kebijakannya yang zalim, apakah kemudian boleh melakukan demonstrasi atau menyebar artikel nasihat dan teguran kepada pemerintah di media massa?
Jawabnya: Tetap tidak boleh, sebab hal tersebut bertentangan dengan dalil dan petunjuk Salaf dalam menghadapi keadaan semacam ini.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr –rahimahullah- berkata, “Jika tidak memungkinkan untuk menasihati penguasa (dengan cara yang syar’i), maka solusi akhirnya adalah sabar dan doa, karena dahulu mereka –yakni Sahabat- melarang dari mencaci penguasa”. Kemudian beliau menyebutkan sanad satu atsar dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, beliau (Anas) berkata, “Dahulu para pembesar Sahabat Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dari mencaci para penguasa.” [Lihat At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)]
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullah- berkata, “Demi Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezhaliman penguasa, maka tidak akan lama Allah Ta’ala mengangkat kezhaliman tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat senjata melawan penguasa yang zhalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian beliau membaca firman Allah:
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Maka sempurnalah kalimat Allah (janji-Nya) kepada Bani Israel disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat Madarikun Nazhor, (hal. 6)]
Penjelasan para ulama di atas dipahami dari banyak hadits Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, diantaranya sabda beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-:
من رأى من أميره شيئاً يكرهه فليصبر عليه ، فإنه من فارق الجماعة شبراً فمات إلا مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai (kemungkaran) yang ada pada pemimpin negaranya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas -radhiyallahu’anhuma-)
Juga sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:
إنكم سترون بعدي أثرة وأموراً تنكرونها قالوا: ما تأمرنا يا رسول الله قال: أدوا إليهم حقهم وسلوا الله حقكم
“Sesungguhnya kelak kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-)
Dan sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:
قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
“Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)
Maka jelaslah, ketika sudah tidak ada lagi solusi lain untuk merubah kemungkaran penguasa, tidak dibenarkan sama sekali melakukan demonstrasi, meskipun berupa aksi damai dan tidak pula dengan menyebar artikel dan berbicara tentang kejelekan penguasa di khalayak ramai, karena semua itu bertentangan dengan tuntunan Allah Ta’ala yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi, tidak ada dalam Islam istilah demonstrasi Islami. Adapun yang dituntunkan oleh teladan kita, Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para sahabat -radhiyallahu’anhum- adalah sabar dan doa.
Inilah sebaik-baiknya solusi bagi orang-orang yang beriman kepada ayat Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.
(Artikel ini dialihtuliskan untuk umum dari artikel khusus kami di http://www.almakassari.com)
[1] Meskipun Marwan lahir dua atau empat tahun setelah hijrahnya Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- ke Madinah, namun ia tidak pernah melihat Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-. Demikian pendapat Al-Imam Al-Bukhari –rahimahullah- [Lihat At-Tahdzib, (10/82/no. 167) dan At-Taqrib, (no. 6567)]
mmmm ternyata ada yang bela demo ya ha..ha.. apa gak pada sadar mafasadat demo kan lebih besar daripada mashlahatnya,emanknya yng demo cuma IM,HT,ormas2 Islam ya pikir dong itu kan ada para sekuler bahkan lebih anarkis mereka,cob lihat televisi orang dungu soal agama saja berani berkata2 apa saja. Ingat para ulama menasehti itu berdasarkan apa telah terjadi dan sudah ada penelitian sebelumnya terus ditimbng maslahat dan mafsadatnya. Gak segampng itu ngeluarin fatwa loh, satu lagi itu kan termasuk termasuk fiqhulk waqi
Kepada petulangharakah buktikan kepada saya bahwa di dunia ini semua demo itu apabila aspirasi gak diterima tak berujung kekerasan ???? Saya tunggu jawabannya
ingat2 nabi itu berujar sudah ada maslahat dan mafsadatnya he..he…
ingat2 nabi itu berujar sudah ada maslahat dan mafsadatnya ^_^
sorry bantahan lama jangan dipake deh dah usang tuh bantahan he..he..
bertaubatlah IM karena kalian semua telah menyuburkan dakwah bid`ah kok politik yang diprioritaskan sih masih banyak tuh masih syirik.
Oh ya satu lagi masih dalam tahap dah berani berijtihad he..he.. buat IM
SAYA:
Aamiin ya RABB.. Dengan tulisan ini saya juga ingin menyampaikan kepada penulis tulisan-tulisan sejenis, bahwa kami (AL-IKHWAN), insya ALLAAH mampu memberikan hujjah atas semua ijtihad fiqh yang kami yakini dan kami lakukan, karena insya ALLAH kami juga memiliki banyak ulama yang kompeten dibidangnya.
Cuma masalahnya, selain muthala’ah kitab-kitab, kami juga harus berdakwah di politik dan berjihad, sehingga waktu kami untuk menulis seperti ini amat terbatas, maka tulisan ini juga kami sampaikan kepada penulis kitab “100 Kerusakan PEMILU”; kelak jika ada waktu akan kami jawab satu persatu dengan hujjah dan dalil yang jelas, dan akhirnya tulisan ini kami akhiri dengan firman RABBul Jalil SWT: “Katakanlah: RABB-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan ALLAAH dengan sesuatu yang ALLAAH tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap ALLAAH apa yang tidak kamu ketahui.”
In uriidu illal Ishlaha mastatha’tu, wama taufiqi illa biLLAAH, ‘alayHI tawakkaltu wa ilayhi uniib…
Jawaban Fahrul Aprianto Prayudi : ini terbukti bahwa dakwah politik is ” number one” prioritasnya bagi berhaluan IM ,salafy itu mah dakwah tauhid sebagaimana para nabi dan sahabat dahulu politiknya salafy ya politik syar`i bukan politik Barat tuan,dan itu tahapan masih lama belum loncat ke situ
55 – Penyelewengan Para Pemimpin Ikhwanul Muslimin
Peyelewengan Para Pemimpin Ikhwanul Muslimin
Didapati hampir keseluruhan para pemimpin Ikhwanul Muslimin lebih memberi tumpuan kepada persoalan fiqh, tasawuf (tariqat kesufian), falsafah, politik dan teori-teori pemikiran. Orang-orang awam yang bergabung membantu perjuangan mereka yang lebih menekankan persoalan sosial dan politik. Yang fanatik buta kepada para pemikir pertubuhan ini dan para pentaqlid yang ekstrem terhadap buah fikiran tokoh-tokohnya serta yang ghulu dengan Ikhwanul Muslimin semakin hari semakin bertambah sedangkan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ.
“Hati-hatilah kamu terhadap perbuatan ghulu dalam beragama, kerana sesungguhnya binasanya orang sebelum kamu kerana berbuat ghulu dalam agama”.[1]
Mereka yang taksub (ghulu) dengan pertubuhan dan tokoh-tokoh penggerak pertubuhan ini benar-benar tertipu oleh golongan yang muflisin dalam ilmu-ilmu akidah, yang tersasar dari manhaj Salaf as-Soleh yang mereka sangka benar-benar Ikhwanul Muslimin, tetapi sebenarnya adalah Ikhwanul Muflisin. Fikirkanlah tentang Sayid Qutub yang menolak hadis melihat Allah, Hasan al-Banna dengan tafwidh dan bermunajat dengan kuburan, Muhammad al-Gazali yang menolak hadis ahad, Mohammad Qutub yang mengkafirkan umat dan banyak lagi kemuflisan ilmu-ilmu hak yang telah dibuktikan secara ilmiyah di dalam tulisan ini.
Sungguh tepat apa yang telah dikhabar oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam:
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضِةُ، قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ : اَلرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِى أَمْرِالْعَامَّةِ.
“Akan tiba nanti kepada umat manusia masa-masa yang penuh tipu daya. Pada ketika itu pendusta dianggap orang jujur sebaliknya orang jujur dianggap pendusta. Orang yang khianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap pengkhianat. Dan para Ruwaibidhah mula mahu bercakap. Baginda ditanya: Siapa itu Ruwaibidhah? Baginda menjawab: Orang-orang dungu (bodoh sombong) syok sendiri apabila berbicara tentang orang-orang banyak (umat)”.[2]
[1] . H/R Ahmad 1/215,347. Ibn Majah 3029. an-Nasaii 5/268. Hadis sahih
menurut syarat Muslim. Disahihkan oleh Syeikh al-Albani dalam as-Sahih
1283.
[2] . Lihat: Musnad Imam Ahmad 15:37-38 syarah dan ta’liq Ahmad Syakir. Beliau berkata: isnad hadis ini hasan dan matannya sahih. Ibnu Kathir berkata: Isnad hadis ini adalah isnad yang baik.
Posted by Mohd Faisal Omar at 3:36 PM
Monday
04- Manhaj Yang Batil Dan Mungkar
Manhaj Yang Batil Dan Mungkar
Terdapat berbagai-bagai bentuk penyimpangan manhaj dan akidah yang telah disemai dan disuburkan di dalam manhaj Ikhwanul Muslimin.[1] Antaranya ialah apa yang terdapat di dalam laungan propaganda yang sering digembar-gemburkan oleh para tokoh dan pengikut-pengikut mereka juga pengekor yang ada di Malaysia iaitu slogan:
نتعاون فيما اتفقنا عليه ويعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه.
“Kita saling tolong-menolong dalam perkara yang kita sepakati, dan saling memaafkan (bertolak ansur/mutual respect) terhadap perkara yang kita berselisih padanya”.[2]
Inilah antara slogan Ikhwanul Muslimin yang paling mungkar dan batil, kerana slogan ini mencampur-adukkan antara yang hak dengan yang batil. Kebanyakan penggunanya tidak mampu membezakan yang mana ibadah yang boleh diberi ruang ikhtilaf dan yang mana persoalan akidah yang sama sekali tidak ada tolak ansur dan tidak ada ruang ikhtilaf padanya. Menurut Ibn Bazz rahimahullah ketika mengkritik slogan ini:
“Ya benar, wajib saling tolong menolong dalam perkara kebenaran yang disepakati, menyeru kepada kebenaran dan memperingatkan ummah dari segala yang ditegah oleh Allah dan Rasulnya. Adapun bertolong-tolongan dalam perkara yang diperselisihkan maka tidak dibenarkan secara mutlak malah perlu diteliti iaitu jika perkara tersebut dalam persoalan ijtihadiyah yang tidak ada dalilnya secara jelas maka tidak boleh antara kita saling mengingkarinya. Tetapi apabila perkara tersebut jelas bertentangan dengan nas al-Quran dan as-Sunnah (akidah), maka wajib ditentang dengan hikmah, nasihat dan berbincang dengan baik”.[3]
Syeikh Abdullah Muhsin al-Abbad membidas slogan ini:
“Sudah sewajarnya bagi para pengikut (Hasan al-Banna) meninggalkan slogan ini yang berjuang agar bertoleransi terhadap kelompok-kelompok sesat, malah yang paling sesat seperti Syiah Rafidhah. Hendaklah memberi penumpuan untuk menerapkan kaedah “Cinta kerana Allah dan membenci kerana Allah. Atau wala’ kerana Allah dan bara’ kerana Allah” yang tidak ada ruang bertoleransi bagi orang-orang yang menyeleweng lagi sesat dalam perkara yang menyalahi Ahli Sunnah wal-Jamaah”.[4]
Sememangnya tidak boleh bertolong-tolongan, bertoleransi dan berkompromi jika yang diperselisihkan termasuk perkara yang menyangkut persoalan akidah yang membawa kepada kesyirikan. Persoalan akidah adalah tauqifiyah dan qat’iyah yang tertutup pintu ijtihad dan tidak ada ruang perselisihan padanya, maka bagaimana mungkin akan saling memberi toleransi atau kemaafan dalam persoalan akidah atau tauhid? Sedangkan syirik adalah dosa besar yang tidak akan diampunkan pelakunya kecuali bertaubat sebelum menempuh kematian. Maka tidak ada tolak-ansur, tolong-menolong, kompromi atau toleransi dalam persoalan akidah, kerana sama sekali tidak diberi ruang untuk berselisih di dalam perkara tersebut yang menjadi asas dalam agama. Berbeza dengan persoalan fiqhiyah kerana ia persoalan ijtihadiyah, furu’iyah dan sering membawa kepada ikhtilaf, maka berselisih dalam persoalan fiqhiyah diberi keuzuran kerana berijtihad dalam persoalan fiqh pintunya masih terbuka luas iaitu melalui keumuman hadis Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam:
إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِنِ اجْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحَدٌ.
“Apabila seorang hakim berijtihad jika benar dalam ijtihadnya, maka dia mendapat dua kebaikan dan apabila berijtihad jika salah dalam ijtihadnya maka dia mendapat satu kebaikan”.[5]
Mungkin Hasan al-Banna terkeliru dalam membezakan antara manhaj Salafiyah dengan manhaj Khalafiyah. Sehingga beliau mengkagumi legenda sufiyah kuburiyah yang fasik serta manhaj-manhaj bid’ah yang lainnya, akhirnya dia memilih manhaj sufiyah sebagai manhaj yang dijadikan landasan perjuangannya yang sehingga kini belum ditemui bukti bahawa dia pernah bertaubat darinya. Sebaliknya beliau telah membuat pengakuan:
إن دعوة الاخوان دعوة سلفية طريقة سنية وحقيقة صوفية وهيئة سياسية.
“Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah Salafiyah, mengikut sunnah (tetapi) hakikatnya sufiyah dengan berdasarkan gaya politik”.[6]
Apabila beliau menegaskan “hakikatnya sufiyah dengan berdasarkan gaya politik”, bukankah kenyataan ini benar-benar membuktikan bahawa Hasan al-Banna dan Ikhwanul Muslimin memperjuangkan tariqat kesufian, kerana ia diserapkan keseluruhan gerakan dan perjuangannya serta diwarisi oleh para tokoh dan penggantinya.
Adapun kecelaruan manhaj Ikhwanul Muslimin yang paling utama (yang jelas mungkarnya) secara ringkas ialah:
1- Mempermudah (tidak mengutamakan) tauhid ibadah (atau tauhid uluhiyah) kerana lebih mengutamakan tariqat sufiyah, sedangkan tauhid ibadah (tauhid uluhiyah) adalah yang paling penting dalam Islam. Tidak sah Islam seseorang kecuali setelah mengetahuinya dengan sempurna sebagaimana firman Allah Subhanahu wa-Ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ.
“Maka hendaklah kamu ketahui tiada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah”.[7]
Firman Allah ‘Azza wa-Jalla di atas ini telah mewajibkan setiap muslim agar mengetahui dan memahami tauhid uluhiyah kerana semua para nabi dan para rasul diutus demi untuk menyerukan tauhid tersebut.
Hasan al-Banna menjelaskan tentang uslub dakwahnya yang tergambar bahawa beliau tidak mementingkan akidah, tetapi ekonomi dan politik, sedangkan dakwah para nabi, para rasul dan para aimah Salaf as-Soleh mendahulukan dakwah akidah:
موقفنا من الدعوات فى هذه البلد دينية واجتماعية واقتصادية وسياسية.
“Pendirian kami dalam membentuk dakwah )Ikhwanul Muslimin( di negeri ini (Mesir), adalah dakwah diniyah (berdakwah) kepada persatuan, ekonomi dan politik”.[8]
Persoalannya bagaimanakah Hasan al-Banna mampu membangun struktur persatuan yang kukuh, ekonomi dan politik yang stabil sedangkan umat yang diseru untuk membangun masih dibiarkan dilanda berbagai-bagai bala penyakit syirik? Walhal kesyirikanlah penyebab utama berleluasanya bid’ah, khurafat, tahaiyul dan berbagai-bagai kemungkaran yang fatal sedangkan jalan penyelesaiannya adalah akidah atau tauhid ibadah (tauhid uluhiyah).
2- Diamnya mereka dan persetujuan mereka terhadap syirik besar seperti berdoa (menyeru) selain Allah, bertawaf di kuburan, bernazar untuk orang mati, menyembelih atas nama arwah orang mati dan sebagainya.
3- Sesungguhnya manhaj (Ikhwanul Muslimin) dan pengasasnya (Hasan al-Banna) seorang penganut tariqat kesufian, mempunyai hubungan yang erat dengan fahaman sufiyah, beliau membaiah Abdul Wahhab al-Hasafi mengikut tariqatnya al-Hasafiyah as-Syazaliyah.
Beliau juga menyampaikan kuliahnya disalah satu markas kesyirikan yang terbesar di Mesir iaitu di kubur Syaidah Zainab.[9] Dalam ceramahnya Hasan al-Banna tidak menegur perbuatan mungkar warisan jahiliyah dan syirik besar yang berlaku di kuburan Syaidah Zainab, seperti membina bangunan di atas kuburan, bertawaf mengelilingi kubur, istighasah, menyembelih, bernazar, berzikir, berdoa kepada kubur dan sebagainya.
4- Mereka beribadah dengan bid’ah-bid’ah yang nyata yang mana pengasas manhaj ini (Hasan al-Banna) berikrar dan menanamkan keyakinan bahawa Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum menghadiri majlis mereka. Baginda datang untuk mengampunkan dosa-dosa mereka yang lalu dan yang akan datang seperti yang terdapat dalam syair Hasan al-Banna:
Ilah (Tuhan) berselawat kepada Nur yang datang untuk alam semesta # yang mengatasi matahari dan rembulan # Kekasih ini (Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam) datang berserta para sahabat # Mengampunkan dosa yang lalu dan yang mendatang # [10]
Umar at-Tilmisani terus mempertahankan kemungkaran ini dan beliau menjelaskan:
“Ada orang yang berkata: Sesungguhnya Rasulullah hanya mengampunkan dosa mereka semasa mendatangi baginda diketika hidupnya sahaja, saya tidak tahu mengapa mereka membatasi ayat ini dengan doa permohonan pengampunan dosa dari Nabi ketika baginda masih hidup sahaja, pada hal tidak ada yang membuktikan pembatasan dalam ayat tersebut”.[11]
Keyakinan kuburiyah Tilmisani seperti di atas ini bertentangan dengan akidah para ulama Salaf as-Soleh. Beliau seterusnya melahirkan pendirian dan mempertahankan keyakinannya:
“Saya lebih cenderung mengambil pendapat pihak yang meyakini bahawa Rasulullah boleh mengampunkan dosa, sama ada semasa baginda hidup atau setelah wafat bagi sesiapa yang mendatangi kubur baginda”.[12]
Tilmisani terus meluahkan rasa keyakinannya yang mengandungi kesesatan dengan menekankan:
“Maka tidak sepatutnya bersikap ekstrem semasa mengingkari mereka-mereka yang berkeyakinan tentang kebenaran keramat-keramat para wali serta meminta perlindungan kepada kubur-kubur mereka yang suci atau berdoa di atas kubur-kubur tersebut ketika ditimpa kesusahan. Keramat-keramat para wali itu sebagai salah satu bentuk bukti mukjizat para rasul utusan Allah”.[13]
Inilah perbuatan beristighasah (berdoa atau menyeru memohon pertolongan kepada kuburan untuk diperkenankan doanya), beristi’azah (berdoa atau menyeru memohon perlindungan) dan beristi’anah (berdoa, menyeru dan meminta pertolongan) kepada kuburan yang dilakukan oleh Tilmisani tokoh Ikhwanul Muslimin. Perbuatan atau keyakinan Tilmisani menyeru dan berdoa kepada orang mati amat bertentangan dengan keyakinan serta akidah para Salaf as-Soleh yang mengharamkan perbuatan tersebut kerana inilah salah satu kesyirikan (syirik akbar) atau syirik besar yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Pengharaman ulama Salaf kerana berpegang dengan beberapa ayat:
فَاسْتَغْفِرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ اللهُ
“Kemudian mereka meminta keampunan atas dosa-dosa mereka, maka siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah”.[14]
وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ.
“Dan Allah berfirman: Berdoalah kamu kepadaKu nescaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari mengibadahiKu akan masuk neraka Jahanam dalam keadan hina”.[15]
فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا
“Maka janganlah kamu seru di samping menyeru Allah dengan seseorang yang lain”.[16]
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ لاَ بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الْكَافِرُوْنَ.
“Dan barangsiapa menyeru Tuhan lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada beruntung”.[17]
وَاسْتَغْفِرِ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا.
“Dan mintalah ampun kepada Allah sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[18]
Ayat-ayat di atas ini memerintahkan orang-orang beriman agar meminta (berdoa) hanya kepada Allah ‘Azza wa-Jalla. Adapun meminta-minta kepada kubur adalah keyakinan kuburi yang menyerupai iktikad Nasara (sebagaimana yang telah disentuh sebelum ini) yang mempercayai bahawa ketua-ketua agama mereka sama ada yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia boleh mengampunkan dosa orang-orang bawahannya.
Beramal dan berakidah yang menyerupai akidah atau amalan kaum-kaum jahiliyah seperti menyeru dan bertawassul kepada ahli kubur telah diharamkan oleh syara. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam telah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum tersebut”.
5- Memulakan dakwahnya ke arah mengwujudkan Khalifah. Ini adalah suatu cara dakwah yang bid’ah kerana sesungguhnya para rasul dan pengikut mereka tidak diberatkan kecuali memula dan mengutamakan kepada tauhid (akidah) terlebih dahulu sebagaimana firman Allah ‘Azza wa-Jalla:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ عْبُدُوْا اللهَ وَاجْتَنِبُوْا الطَّاغُوْتَ
“Telah kami utus pada setiap umat seorang rasul, agar mereka menyembah Allah dan menjauhi taghut”.[19]
Para utusan Rasulullah yang dihantar keluar seperti ke Yaman, semua mereka diamanahkan supaya terlebih dahulu menyeru kepada tauhid (akidah) dan tidak diberatkan supaya menyeru kepada pembentukan daulah.
6- Tidak ada wala’ dan tidak ada bara’ pada mereka atau mereka meremehkannya. Semuanya itu amat jelas kerana mereka berusaha melakukan pendekatan (penyatuan) antara Sunnah dan Syiah.[20] Menurut keyakinan Hasan al-Banna:
“Syiah sama seperti empat mazhab yang ada”.[21]
Hasan al-Banna telah berwala’ dan berterus terang kepada para pemuka dan pengikut Syiah:
“Kami sampaikan kepada yang mulia Sayid Muhammad Uthman segala apa yang terpendam di lubuk hati Ikhwanul Muslimin berupa rasa cinta, kasih dan sentiasa memuliakan (Syiah)”.
Cubalah anda fikirkan, makian dan celaan Syiah terhadap Abu Bakr, Umar, Uthman radiallahu ‘anhum dan seluruh sahabat serta menuduh ‘Aisyah sebagai penzina (pelacur) lalu Syiah dimuliakan, dicintai dan dikasihi oleh Hasan al-Banna dan para pengikut Ikhwanul Muslimin? Perbuatan seperti ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaful Ummah kerana ia bertentangan dengan pegangan Ahli Sunnah wal-Jamaah yang telah mengkafirkan Syiah. Syiah dikafirkan kerana mereka telah mengkafirkan dan melaknat para Khalifah, para sahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan juga mengkafirkan seluruh Ahli Sunnah wal-Jamaah.
7- Kebencian mereka terhadap ahli tauhid dan mereka yang mengikut manhaj salafiyah sangat keterlaluan. Contohnya:
“Abu Ahmad dan Abu Bilal dipecat dari keanggotaan Ikhwanul Muslimin gara-gara mengikuti kuliah dan mengundang Syeikh Nasruddin al-Albani”. Perkara ini telah dijelaskan oleh Salim bin Ied al-Hilali.[22]
8- Kesepaduan para pengikut mereka mematuhi kebodohan para pemimpin dan ketua-ketua mereka sama ada benar, batil atau bohong. Kemudian menyebarkannya dan menanamkan di kalangan para pemuda yang sudah diperangkap oleh kebodohan tersebut perasaan yang dipenuhi dengan kebencian, tidak percaya dan dengki terhadap orang di luar kelompoknya. Perkara ini diakui oleh Tilmisani dan beliau menjelaskan di dalam bukunya “Zikriyat La Muzakkarat”:
“Seseorang di hadapan Hasan al-Banna semestinya seperti mayat di hadapan orang yang memandikannya”.
Ini adalah termasuk syiar sufiyah yang menegaskan (Mendengar dengan pendengaran Hasan al-Banna dan melihat dengan penglihatan Hasan al-Banna). Yang bererti:
“Mesti taat dan tidak boleh menderhaka”.[23]
9- Hizib (kepartian ala khawarij gaya baru) membenci (serta mentakfir) parti yang tidak bersatu dengan mereka. Mereka berwala’ hanya kepada parti mereka, tidak ada konsensus malah terus bermusuh dengan parti-parti yang lain kerana mereka berkeyakinan hidup dalam negeri kafir, pemerintah dianggap bukan parti mereka dan wajib diperangi. Dengan keyakinan tersebut mereka mengkafirkan negeri yang menjadi tanah airnya walaupun pemimpin mereka seorang muslim dan majoriti rakyatnya adalah orang-orang Islam.
Orang yang mencetuskan pengkafiran daulah dan pemimpin Islam jika tidak bersatu dengan partinya adalah Hasan al-Banna kemudian diikuti oleh Syaid Qutub dan para tokoh Ikhwanul yang lainnya.[24]
10- Berbaiah (sumpah taat setia diiringi dengan menjunjung al-Quran secara sufiyah dan ketenteraan yang mewajibkan seseorang berjihad atau merealisasikan sesuatu yang berkaitan dengannya) mengikut manhaj Ikhwani melalui sepuluh syarat yang telah ditetapkan oleh pengasasnya (al-Banna).[25] Sentiasa bersedia apabila pemimpin memberikan arahan untuk membuat huru-hara (rusuhan) atau melakukan pembunuhan (keganasan) maka semuanya itu wajib dilaksanakan.[26] Adapun isi kandungan teks baiah Ikhwanul Muslimin ialah:
“Aku berjanji kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung untuk sentiasa berpegang teguh dengan dakwah Ikhwanul Muslimin dan berjihad di jalannya, mematuhi syarat-syarat keahliannya dan mempercayai sepenuhnya kepada kepimpinannya. Sentiasa patuh dan taat dalam keadaan suka atau benci. Aku bersumpah atas nama Allah Yang Maha Agung atas semuanya ini dan aku berbaiah atasnya. Dan Allah menjadi saksi atas apa yang aku katakan”.[27]
Menurut para aimmah (ulama) Ahli Sunnah wal-Jamaah, ungkapan dalam baiah: “Sentiasa patuh dan taat dalam keadaan suka atau benci” hanyalah untuk Amirul Mukminin atau Khalafatul ‘Uzma bukan untuk ketua pertubuhan seperti Ikhwanul Muslimin atau ketua organisasi yang dibentuk oleh anggotanya. Ungkapan ini telah dicabuli dan disalah-guna oleh ketua-ketua Ikhwanul Muslimin untuk kepentingan mereka.
11- Taksub atau fanatik membabi-buta terhadap pemimpin sehingga disetarakan dengan para imam mujtahid. Malah para pemimpin Ikhwanul Muslimin menutup telinga, minda dan hati pengikutnya dari bersikap terbuka, membuka mata dan berlapang dada. Di Malaysia ada segolongan yang begitu ghulu atau taksub dengan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Dan antara tokoh Ikhwanul Muslimin yang menjadi mangsa doktrin pemikiran Hasan al-Banna sehingga keterlaluan taksubnya ialah seorang sufi yang ekstrem, Sa’id Hawa. Beliau menegaskan:
وَنَعْتَقِدُ أَنَّهُ لاَ جَمَاعَةٌ كَامِلَةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ بِفِكْرِ اْلأُسْتَاذُ الْبَنَّا ، وَإِلاَّ بِنَظَرِيَاتِهِ.
“Dan kami mempercayai bahawasanya tidak ada jamaah yang sempurna bagi kaum muslimin kecuali dengan fikrah (pandangan/pemikiran) al-Ustaz Hasan al-Banna atau dengan pandangan-pandangan beliau”.[28]
Jamaah yang sempurna adalah jamaah yang meniti di atas manhaj Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam yang juga menjadi manhaj para sahabat serta sesiapa yang berittiba’ kepada jalan (manhaj) mereka, bukan jalan-jalan yang berada di sebelah kanan atau di sebelah kiri seperti yang telah Rasulullah gariskan. Berwaspadalah agar kita tidak melencong ke garisan kiri atau kanan kerana selain garisan tengah maka disetiap garisan yang ke kiri atau kanan itu ada syaitan yang menyeru kepadanya, sebagaimana sabda baginda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُسْعُوْدٍ قَالَ : خَطَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَلِيْلُ اللهِ ، وَخَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : هَذِهِ سُبُلٌ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ : وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِّعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.
“Dari Abdullah bin Masoud berkata: Telah menggariskan kepada kami suatu garisan lalu bersabda: Inilah jalan Allah. Kemudian menggariskan beberapa jalan di sebelah kanannya dan beberapa garis di sebelah kirinya, lalu baginda bersabda: Inilah jalan-jalan yang pada setiap jalan ada syaitan yang menyeru kepada jalan tersebut. Kemudian baginda membacakan ayat (al-Quran yang mana Allah berfirman): Sesungguhnya inilah jalan Ku yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut, janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang ke kanan atau ke kiri) kerana jalan-jalan tersebut mencerai-beraikan kamu dari jalan Allah. Yang demikian itulah kamu diperintahkan oleh Allah agar kamu bertakwa”.[29]
Fahamilah garisan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam yang telah menjelaskan kepada kita bahawa semua jamaah yang mengikut garisan yang banyak, ke kanan atau ke kiri akan ke neraka, hanya satu yang ke syurga iaitu yang mengikuti al-Jamaah di garisan tengah.
Baginda memperkenalkan kepada kita siapa al-Jamaah atau hizbi yang sebenar agar tidak diperangkap oleh seruan syaitan kerana akan berlaku perpecahan pada umat baginda sehingga terdapat berbagai jamaah selepas kewafatan baginda. Sabda baginda:
وَالَّذِيْ نَفْسِ مُحُمَّدٍ بِيَدِه ، لَتَفْتَرِكَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ قِيْلَ مَنْ هُمْ قَالَ : الْجَمَاعَة
“Demi diri Muhammad yang berada di tanganNya, pasti akan berpecah umatku kepada 73 firqah, hanya satu ke syurga dan 72 ke neraka. Baginda ditanya: Siapa mereka? Baginda bersabda: Mereka adalah al-Jamaah”.[30]
Penampilan dan sifat al-Jamaah yang Rasulullah jelaskan ialah:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْم وَأَصْحَابِيْ
“(Iaitu orang-orang yang seperti) apa yang aku di atasnya pada hari ini dan para sahabatku”.[31]
Maka al-Jamaah ialah sesiapa yang akidahnya, ibadahnya dan akhlaknya menepati sebagaimana manhaj (jalan) yang baginda telah tetapkan. Setelah kita memahami hadis sahih di atas, pastikan bahawa kita tidak lagi menerima jamaahnya Ikhwanul Muslimin sebagai al-Jamaah, kerana ditakuti manhaj akidah mereka yang bermanhajkan akidah Asy’ariyah al-Maturidiyah, ibadahnya pula dipenuhi dengan berbagai-bagai bid’ah dan akhlaknya adalah sufiyah kuburiyah menyalahi manhaj Rasulullah dan para sahabat, kerana Ikhwanul Muslimin telah mereka-reka jamaah sendiri yang prinsipnya terkeluar dari garisan tengah (yang digariskan oleh Rasulullah). Mereka tersasar ke garisan-garisan yang ke kiri atau ke kanan yang telah Rasulullah gariskan di mana setiap jalan tersebut ada syaitan menyeru kepadanya.
Oleh kerana itu tidak ada jalan lain setelah keluar dari jalan (manhaj) yang telah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam tetapkan kepada kita kecuali jalan (manhaj) yang di atasnya ada penyeru-penyeru dari kalangan syaitan jenis manusia atau jin.
Persoalannya, bagaimana mereka lebih menjamin kesempurnaan jamaah Ikhwanul Muslimin sehingga menafikan kesempurnaan jamaah selain Ikhwanul Muslimin? Apakah ada jamaah yang lebih sempurna dari jamaahnya Rasulullah dan para sahabat? Sedangkan sesiapa yang keluar dari garisan al-Jamaah yang digariskan oleh Rasulullah samalah seperti menyahut seruan syaitan yang mengajak ke neraka.
Apakah jamaah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum yang lahir sebelum lahirnya Ikhwanul Muslimin yang tidak mengenal Hasan al-Banna juga dianggap tidak sempurna oleh Sa’id Hawa? Ini adalah ucapan dan keyakinan yang ghulu yang menyalahi firman Allah:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوْا فِى دِيْنِكُمْ.
“Hai Ahli Kitab, janganlah kamu ghulu (melampaui batas) dalam agama kamu!”.[32]
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam memerintahkan agar kita semua mengikut hanya satu jalan (garisan jamaah) yang lurus, bagaimana Sa’id Hawa boleh menjamin ada jalan (jamaah) lain yang lebih selamat dari jalan yang ditunjukkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam?
Berkata Syeikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizahullah ketika mengkritik Hasan al-Banna dan berkata:
لامجال أن يعذر أهل الزيغ والضلال فيما خالفوا أهل السنة والجماعة.
“Tidak ada ruang untuk memberi keuzuran kepada ahli yang menyeleweng dan sesat tentang apa yang menyalahi pegangan Ahli Sunnah wal-Jamaah”.[33]
Berkata Syeikh Soleh bin Abdul Aziz Ali as-Syeikh Menteri Hal Ehwal Agama kerajaan Arab Saudi:
“Para pemimpin Ikhwanul Muslimin mereka menutup rapat akal para pengikut mereka dari menerima kata-kata yang berlainan dengan manhaj mereka”.[34]
Di Malaysia terdapat beberapa jamaah dan individu secara emosi dan agresif telah membanggakan, ghulu malah fanatik keterlaluan kepada para pemikir Ikhwanul Muslimin yang diulamakan terutamanya Sayid Qutub dan Yusuf al-Qaradhawi. Mereka menjadi pengekor yang radikal.
Mereka telah membodohkan diri mereka sendiri dengan mensetarakan segala fatwa dua insan ini dengan para imam mujtahid. Dinobatkan sebagai penyumbang kepada kebangkitan tajdid, dianggap sebagai mujaddid dan hampir dimaksumkan sehingga segala pendapat dan tulisan kedua-dua insan ini tidak boleh disentuh atau dikritik.
Diharapkan para pengekor dan para pentaqlid buta kepada Sayid Qutub dan Yusuf al-Qaradhawi dapat mensiumankan akalnya dan menjernihkan akidahnya, tidak lagi menjadikan dua manusia yang kabur manhajnya ini sebagai idola atau idiom semasa di forum-forum awam, berseminar, berkuliah, berwacana, berkhutbah atau penulisan buku, makalah, rencana atau artikel, kerana ditakuti umat turut terpalit dengan bala dan penyakit berjangkit yang dijangkiti dari Ikhwanul Muslimin ini.
Persoalannya, apakah kita boleh menaruh harapan akan kejayaan dakwah Islamiyah dan kebangkitan Islam dari para tokoh Ikhwanul Muslimin yang tidak tahu mengutamakan akidah, tidak mengenal manhaj sahihah, tidak tahu membezakan antara tauhid dengan kesyirikan dan tidak pernah menegakkan bendera tauhid dalam perjuangannya, sebaliknya berdakwah di atas manhaj Khawarij, Muktazilah, Asy’ariyah, Sufiyah dan Murjiah. Perjuangan mereka pula lebih mengutamakan siyasah, daulah, sosial dan ekonomi.
[1]. Lihat: at-Tarikh as-Sirri Lijama’atil Ikhwan al-Muslimin Hiyal Fitnah
Fa’rifuha.Hlm. 76 Abu Ibrahim Bin Sultan al-Adnani.
[2]. Ibid. Lihat: Dakwahtul Ikhwanul Muslimin Fii Mizanil Islam hlm. 206.
[3] . Lihat: Majmu’ Fatawa Ibn Bazz 3/58-59.
[4] . Lihat: Zajrul Mutahawin. Hlm. 8.
[5] . H/R Bukhari 6919 dan Muslim 1718.
[6] . Lihat: Majmu’ah ar-Rasail al-Imam al-Banna, hlm. 122. Lihat: Nadarat fil
Manhaj Ikhwanul Muslimin hlm. 27.
[7] . Surah Muhammad.
[8]. Lihat: Muzzakirat ad-Dakwah wa-Daiyah, hlm. 307.
[9] . Lihat: al-Maurid al-Azb az-Zilal Fima Inqad ‘Ala Ba’di al-Manahij ad-
Daiyah Minal ‘Aqaid wal ‘Amal, bab 10. Dan lihat: Qafilah al-Ikhwanul
Muslimin. Oleh Abbas as-Sisi.
[10] . Lihat: Dakwah al-Ikhwan fi Mizanil Islam, hlm. 63-63.
[11] . Lihat: Syahidul Mihrab Umar bin al-Khattab, hlm. 225-226 Umar at
Tilmisani.
[12] . Ibid. Hlm. 226.
[13] . Ibid.
[14] . Ali Imran. 153.
[15] . Ghafir. 60.
[16] . al-Jin. 18.
[17] . al-Mukminun. 23:117.
[18] . an Nisaa’. 106.
[19] . an-Nahl, 36.
[20] . Lihat: Zikriyat La Muzakkirat, Umar at Tilmisani.
[21] . Ibid.
[22] . Lihat: الجماعة الاسلامية فى ضوء الكتاب والسنة بفهم سلف الأمة Surat pemecatan ahli
ditanda tangani oleh Dzeib Anis.
[23] . Lihat: Turkh Hasan al-Banna wa Ahammul Warisin. Prinsip kedua.
[24] . Lihat: Turkh Hasan al-Banna wa Ahammul Warisin. Prinsip Kedua.
[25] . Dinukil dari kitab: فكرةالتكفير قديما وحديثا hlm. 96-97, Abdussallam bin
Salim bin Raja as-Suhaimi.
[26] . Lihat: Turkh Hasan al-Banna wa Ahammul Warisin. Prinsip Kedua (Bai’at).
[27]. Lihat: Qanun Nizam Asasi li Haiah Ikhwanul Muslimin wa-Syu’abiha hlm. 7.
[28]. Lihat: Jaulah al-Fiqhiyin al-Akbar as-Saghir hlm. 79 Sa’id Hawa.
[29] . al-An’am. 6:153.
[30]. H/R Ibn Majah 2/1322. Disahihkan oleh al-Haitami dalam “az- Zawaid. Disahihkan juga oleh al-Iraqi dalam kitab “Talkhis al-Ihya”.
[31]. Lihat: Tuhfatul Ahwazi 7/399-340.
[32] . an-Nisaa’. 4:171.
[33] . Lihat: Fikru at-Takfir Qadiman wa-Hadisan 153, Raja as-Suhaimi.
[34] . Ibid. Hlm. 281.
PENANYA:
Bagaimana hukum demonstrasi?
JAWABAN SYAIKH:
Demonstrasi adalah bid’ah ditinjau dari berbagai sudut pandang.
HUJJAH PERTAMA DARI SYAIKH:
Demonstrasi ini digunakan untuk menolong agama ALLAAH, dan meninggikan derajat kaum muslimin, lebih-lebih di negeri-negeri Islam.
Dengan demikian, menurut pelakunya, demonstrasi merupakan ibadah, bagian dari jihad. Sedangkan kita telah memahami, bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang, kecuali jika ada dalil yang memerintahkannya.
Dari sudut pandang ini, demonstrasi merupakan bid’ah dan perkara yang diada-adakan di dalam agama.
JAWABAN SAYA:
Syaikh telah benar jika yang dimaksudkannya bahwa demonstrasi adalah bid’ah dari sisi bahasa (lughah), yaitu jika kita menggunakan bahasa Inggris (demonstration), tapi ia bukan bid’ah secara syari’ah, karena jangankan para Salaf, bahkan shahabat RA-pun pernah melakukan demonstrasi, kendatipun tentunya tidak dinamakan demonstrasi secara bahasa, maka nanti saya akan buktikan pada Syaikh, bahwa Islam telah lebih dulu mengadakan demonstrasi dibanding Barat, dalilnya menyusul insya ALLAAH.
Lalu Syaikh juga sungguh telah berlebihan, memasukkan demonstrasi sebagai masalah ibadah, bagaimana ia bisa berfatwa demikian? Padahal semua orang pun tahu demonstrasi bukan sebuah ibadah (bahkan di Barat sendiripun ia bukan sebuah ibadah), ia hanyalah sebuah sarana (wasilah) dalam politik dan dakwah, sama dengan menggunakan internet ataupun radio atau TV saat berpolitik dan berdakwah, maka mengapakah Syaikh juga tidak mengharamkan internet karena ia juga sarana dakwah asli dari Barat?!
ALLAAH SWT berfirman: “Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi musuh-musuh kalian dari segala kekuatan yang kalian sanggupi, dari Kuda-kuda perang yang ditambat, yang dengannnya dapat menggentarkan musuh-musuh-mu…”[11]
Saya ingin bertanya kepada Syaikh bagaimana pendapatnya tentang ayat ini? Sedangkan ayat ini menyebutkan secara jelas dan tegas penggunaan Kuda dalam peperangan, apakah Syaikh di zaman ini juga akan berperang melawan musuh Islam dengan Kuda, hanya karena ia telah dijelaskan secara zhahir dalam Al-Qur’an?!
Jelaslah bagi pembaca hal yang disebutkan secara tekstual saja dalam ayat Al-Qur’an jika menyangkut wasilah maka bisa diganti dan dikembangkan jika memang ada yang lebih baik (sepanjang istinbath-nya tentu saja didasarkan oleh dalil shahih dan menggunakan metode yang benar) maka apatah lagi hal yang tidak dijelaskan secara jelas dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah seperti demonstrasi, partai, parlemen, pemilu, dan sebagainya.
Demikian pula jika pandangan Syaikh benar, maka seharusnya Nabi SAW menolak penggunaan Khandaq (parit) saat perang Ahzab tahun ke-4 Hijrah[12], karena ia merupakan budaya perang asli dari Persia dan secara jelas dalam kitab Sirah disebutkan bahwa bangsa Arab tidak pernah mengenalnya[13], disebutkan para sahabatnya RA saat menggali parit tersebut sambil menyenandungkan nasyid perjuangan dengan suara yang keras[14] dan Nabi SAW-pun ikut menyahutinya[15].
Demikian pula ayat ini dan ayat-ayat serta hadits yang semisalnya mewakili pandangan saya atas bolehnya menggantikan membayarkan zakat Zira’ah, An’aam dan Fithrah dengan uang (tidak dengan barang), namun disini bukan tempatnya saya membahasnya. SEKIAN
Bantahan:
Ya Ustadz,kapankah para sahabat berdemo klo dalilnya Umar berdemo di mekkah lah itu sudah didhaifkan para ulama, ya ustadz nasyid di Arab itu syair gak pakai musik sungguh batil bila dijadikan dalil bagi nasyid zaman sekarang,ya ustadz benarlah demo adalah bid`ah karena para sahabat tak pernah demo dari berbagai segi bukankah ustadz sendiri bilang ada syariatnya untuk berdemo,lah itu tambah kacau berarti ustadz menjadikan demo sebagai amalan dalam syariat Islam ya itu mah termasuk bid`ah dhalalah,masalah kuda dan perang Khandaq mah itu masalah duniawi ustadz
Untuk bantahan selanjutnya akan saya bantah berhubung waktu shalat sih,oh ya maaf mbok dalil si ustadz di jawaban atas hujjah kedua jangan terlihat akan kesilapan/kesalahannya abis perut saya tertawa abis2an ni ha..ha..
insya alla dlm waktu dekat akan saya bantah lagi,cuma pesan saya,itu jawaban atw curhat sih,gak b`mutu mmaf ya
HUJJAH KEDUA DARI SYAIKH:
Nabi SAW terkena fitnah dan ujian para sahabat sepeninggal beliau juga demikian, seperti peperangan dengan orang-orang murtad, tidak ketinggalan pula umat beliau selama berabad-abad juga diuji. Akan tetapi mereka semua tidak demonstrasi. Jika demonstrasi itu baik, tentunya mereka akan mendahului kita untuk melakukannya.
JAWABAN SAYA:
Demonstrasi -seperti yang sudah saya katakan- hanya merupakan sebuah wasilah dakwah, sama seperti metode Khandaq -yang juga telah saya sebutkan takhrij hadits-nya di atas-, maka tentu saja ia tidak perlu dilakukan kecuali pada saat ia diperlukan saja, bisa sekali atau seringkali tergantung kebutuhannya.
Sebagaimana saya katakan di atas, bahkan dimasa Nabi SAW juga pernah dilakukan demonstrasi, maka akan saya sebutkan beberapa bukti peristiwa demonstrasi dalam Sirah berikut takhrij hadits-haditsnya, namun sebelum itu marilah kita telaah kayfiyyat (tatacara) demonstrasi itu sendiri sebagai berikut:
Demonstrasi bisa dilakukan secara perorangan maupun berkelompok, demonstrasi secara perorangan disebutkan dalilnya dalam Sirah yang Shahih diantaranya sebagai berikut:
1. Demonstrasi Abu Dzar RA saat ia baru masuk Islam. Diriwayatkan saat ia baru masuk Islam, Nabi SAW sudah melarangnya (berdemonstrasi) menunjukkan keIslamannya di depan umum, namun ia bersikeras dan berkata: “Demi ALLAAH! Akan aku sampaikan risalah ini secara terang-terangan di depan mereka semua!” (dan Nabi SAW membiarkannya) Maka iapun melakukannya hingga dihajar sampai babak-belur oleh aparat keamanan Quraisy, sehingga ditolong oleh Abbas RA[16].
2. Demonstrasi masuk Islamnya Umar RA di Masjidil Haram. Diriwayatkan saat ia baru masuk Islam, ia langsung bertanya tentang siapa tokoh Qurasiy yang paling cepat menyebar berita (baca: jurnalis-ulung), saat dijawab: Jamil bin Mu’ammar Al-Jamhi, maka Umar RA langsung menemuinya dan menyampaikan keIslamannya, tanpa menjawab Jamil langsung menarik kainnya pergi lalu menyiarkan berita ini di mesjid Haram, sehingga terjadi perdebatan seru antara Umar RA dengan orang-orang Qurasiy hingga tengah hari[17].
Demonstrasi yang dilakukan secara berkelompok, adalah sebagai berikut:
1. Demonstrasi para Shahabat RA, melakukan shalat secara terang-terangan di Ka’bah pasca Islamnya Umar RA. Berkata Ibnu Mas’ud RA: “Sungguh kami takut melakukan shalat terang-terangan di Ka’bah sebelum Umar masuk Islam, namun setelah ia masuk Islam maka ia berani mengajak mereka bertengkar, sehingga kami berani melakukan shalat terang-terangan disana[18].”
2. Awal mulanya sejarah Idhthiba’ (demonstrasi menunjukkan kekuatan kaum muslimin pada aparat dan pemerintah kafir Quraisy) saat Thawaf. Bulan Dzulqa’dah th ke-7 Hijrah Nabi SAW bersama para shahabat RA melakukan umrah-qadha’ atas Hudhaibiyyah yang gagal[19], singkat cerita saat thawaf di Ka’bah nabi SAW menyuruh para shahabatnya RA ber-thawaf sambil demontrasi memamerkan otot tangan kanan mereka (demontrasi kekuatan kaum muslimin), sehingga kaum musyrikin kagum akan kekuatan fisik muslimin yang sedang Thawaf tersebut[20]. Setelah lewat 3 hari kaum musyrik menemui Ali RA sambil berkata: Tolong sampaikan pada teman-teman anda agar segera meninggalkan kami karena batas waktu (izin demonya) sudah habis[21]. Cara berdemo dengan idhthiba’ ini bahkan diperingati sampai sekarang dan menjadi kewajiban setiap lelaki muslim saat Thawaf.
Demikian wahai Syaikh –akramakaLLAAH-, jadi saat anda melihat sebuah perilaku yang dilakukan orang Barat atau siapapun yang non-muslim, jangan langsung merasa antipati, tapi cobalah renungkan mungkin Islam-lah yang lebih dulu telah melakukannya dan merekalah yang meniru kaum muslimin.
BANTAHAN
1. Demonstrasi Abu Dzar RA saat ia baru masuk Islam. Diriwayatkan saat ia baru masuk Islam, Nabi SAW sudah melarangnya (berdemonstrasi) menunjukkan keIslamannya di depan umum, namun ia bersikeras dan berkata: “Demi ALLAAH! Akan aku sampaikan risalah ini secara terang-terangan di depan mereka semua!” (dan Nabi SAW membiarkannya) Maka iapun melakukannya hingga dihajar sampai babak-belur oleh aparat keamanan Quraisy, sehingga ditolong oleh Abbas RA[16].
DARI MANA DALIL BOLEHNYA BERDEMONTASI??!! WONG DI SINI SAHABAT ITU MALAH MAU BERDAKWAH BUKAN DEMONSTRASI SEPERTI PADA MASA KINI, APA IYA TABLIGH AKBAR ITU DEMONSTRASI??? HANYA ORANG BERAKAL JERNIH TAU MAKSUD SAYA
2. Demonstrasi masuk Islamnya Umar RA di Masjidil Haram. Diriwayatkan saat ia baru masuk Islam, ia langsung bertanya tentang siapa tokoh Qurasiy yang paling cepat menyebar berita (baca: jurnalis-ulung), saat dijawab: Jamil bin Mu’ammar Al-Jamhi, maka Umar RA langsung menemuinya dan menyampaikan keIslamannya, tanpa menjawab Jamil langsung menarik kainnya pergi lalu menyiarkan berita ini di mesjid Haram, sehingga terjadi perdebatan seru antara Umar RA dengan orang-orang Qurasiy hingga tengah hari[17].
SUNGGUH USTADZ INI HARUS BERPIKIR ULANG LAGI TTG PEMAHAMAN HADITS INI,MANA DALIL DEMONYA SYAIKH WONG SI UMAR MENUNJUKKN KEISLAMAN SAJA DI DEPAN MASYARAKAT QURAISY TERUS BEDEBAT YA KAYAK IMAM ABUL HASAN AL ASY` ARI MENGUMUMKANN TAUBATNYA DI DEPAN KHALAYAK RAMAI TAK SATUPUN MEREKA MENGATAKAN ITU DEMO BAHKAN ZAMAN SEKARANG BANYAK DAI DALAM CERAMAHNYA DAHULUNYA SEORANG KAFIR KEMUDIAN MASUK ISLAM APA IYA INI NAMANYA DEMO(???!!!)
1. Demonstrasi para Shahabat RA, melakukan shalat secara terang-terangan di Ka’bah pasca Islamnya Umar RA. Berkata Ibnu Mas’ud RA: “Sungguh kami takut melakukan shalat terang-terangan di Ka’bah sebelum Umar masuk Islam, namun setelah ia masuk Islam maka ia berani mengajak mereka bertengkar, sehingga kami berani melakukan shalat terang-terangan disana[18].”
ADUH BATIL DI MANA SIH LETAK DEMONYA(??!!) APA GARA2 SHLT TERANG2AN KOK DISAMAKAN MALAH INI MAH SAMA AJA MENJADIKAN DEMO ITU IBADAH WAH BID`H LAGI
2. Awal mulanya sejarah Idhthiba’ (demonstrasi menunjukkan kekuatan kaum muslimin pada aparat dan pemerintah kafir Quraisy) saat Thawaf. Bulan Dzulqa’dah th ke-7 Hijrah Nabi SAW bersama para shahabat RA melakukan umrah-qadha’ atas Hudhaibiyyah yang gagal[19], singkat cerita saat thawaf di Ka’bah nabi SAW menyuruh para shahabatnya RA ber-thawaf sambil demontrasi memamerkan otot tangan kanan mereka (demontrasi kekuatan kaum muslimin), sehingga kaum musyrikin kagum akan kekuatan fisik muslimin yang sedang Thawaf tersebut[20]. Setelah lewat 3 hari kaum musyrik menemui Ali RA sambil berkata: Tolong sampaikan pada teman-teman anda agar segera meninggalkan kami karena batas waktu (izin demonya) sudah habis[21]. Cara berdemo dengan idhthiba’ ini bahkan diperingati sampai sekarang dan menjadi kewajiban setiap lelaki muslim saat Thawaf.
USTADZ2 TAMBAH JAHIL SAJA PENGAMBILAN ISTIMBATNYA,WONG INI MERUPAKAN SIYASAH RASULULLAH DAN SYIAR ISLAM KARENA SAAT ITU KAUM MUSLIMIN SEDANG DEMAM MAKA ORANG KAFIR MENGEJEK2 MEREKA MAKA RASULULLAH MEMBERI PETUNJUK AGAR MEREKA BERJALAN SEOLAH2 SEHAT AGAR MUSYIRIKIN SALAH DAN TERHINA,INI KASUS SAMA DENGAN ORANG DIFITNAH MAKA SANG KORBAN HARUS MENUNJUKKAN BAHWA DIA TAK BERSALAH DAN TAK BERSEDIH ATAS FITNAH TERSEBUT DAN MEMBUAT TUKANG FITNAH JENGKEL DAN TERHINA APA IYA INI DEMO(??!!)BEDA AMA DEMO KAN, SATU LAGI KAN INI JADI THAWAF APA DEMO SEKARANG JG JADI THAWAF YA WAH TAMBAH BID`AH
Bagaimana hukum demonstrasi?
JAWABAN SYAIKH:
Demonstrasi adalah bid’ah ditinjau dari berbagai sudut pandang.
HUJJAH PERTAMA DARI SYAIKH:
Demonstrasi ini digunakan untuk menolong agama ALLAAH, dan meninggikan derajat kaum muslimin, lebih-lebih di negeri-negeri Islam.
Dengan demikian, menurut pelakunya, demonstrasi merupakan ibadah, bagian dari jihad. Sedangkan kita telah memahami, bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang, kecuali jika ada dalil yang memerintahkannya.
Dari sudut pandang ini, demonstrasi merupakan bid’ah dan perkara yang diada-adakan di dalam agama.
JAWABAN SAYA:
Syaikh telah benar jika yang dimaksudkannya bahwa demonstrasi adalah bid’ah dari sisi bahasa (lughah), yaitu jika kita menggunakan bahasa Inggris (demonstration), tapi ia bukan bid’ah secara syari’ah, karena jangankan para Salaf, bahkan shahabat RA-pun pernah melakukan demonstrasi, kendatipun tentunya tidak dinamakan demonstrasi secara bahasa, maka nanti saya akan buktikan pada Syaikh, bahwa Islam telah lebih dulu mengadakan demonstrasi dibanding Barat, dalilnya menyusul insya ALLAAH.
Lalu Syaikh juga sungguh telah berlebihan, memasukkan demonstrasi sebagai masalah ibadah, bagaimana ia bisa berfatwa demikian? Padahal semua orang pun tahu demonstrasi bukan sebuah ibadah (bahkan di Barat sendiripun ia bukan sebuah ibadah), ia hanyalah sebuah sarana (wasilah) dalam politik dan dakwah, sama dengan menggunakan internet ataupun radio atau TV saat berpolitik dan berdakwah, maka mengapakah Syaikh juga tidak mengharamkan internet karena ia juga sarana dakwah asli dari Barat?!
ALLAAH SWT berfirman: “Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi musuh-musuh kalian dari segala kekuatan yang kalian sanggupi, dari Kuda-kuda perang yang ditambat, yang dengannnya dapat menggentarkan musuh-musuh-mu…”[11]
Saya ingin bertanya kepada Syaikh bagaimana pendapatnya tentang ayat ini? Sedangkan ayat ini menyebutkan secara jelas dan tegas penggunaan Kuda dalam peperangan, apakah Syaikh di zaman ini juga akan berperang melawan musuh Islam dengan Kuda, hanya karena ia telah dijelaskan secara zhahir dalam Al-Qur’an?!
Jelaslah bagi pembaca hal yang disebutkan secara tekstual saja dalam ayat Al-Qur’an jika menyangkut wasilah maka bisa diganti dan dikembangkan jika memang ada yang lebih baik (sepanjang istinbath-nya tentu saja didasarkan oleh dalil shahih dan menggunakan metode yang benar) maka apatah lagi hal yang tidak dijelaskan secara jelas dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah seperti demonstrasi, partai, parlemen, pemilu, dan sebagainya.
Demikian pula jika pandangan Syaikh benar, maka seharusnya Nabi SAW menolak penggunaan Khandaq (parit) saat perang Ahzab tahun ke-4 Hijrah[12], karena ia merupakan budaya perang asli dari Persia dan secara jelas dalam kitab Sirah disebutkan bahwa bangsa Arab tidak pernah mengenalnya[13], disebutkan para sahabatnya RA saat menggali parit tersebut sambil menyenandungkan nasyid perjuangan dengan suara yang keras[14] dan Nabi SAW-pun ikut menyahutinya[15].
Demikian pula ayat ini dan ayat-ayat serta hadits yang semisalnya mewakili pandangan saya atas bolehnya menggantikan membayarkan zakat Zira’ah, An’aam dan Fithrah dengan uang (tidak dengan barang), namun disini bukan tempatnya saya membahasnya. SEKIAN
Bantahan:
Ya Ustadz,kapankah para sahabat berdemo klo dalilnya Umar berdemo di mekkah lah itu sudah didhaifkan para ulama, ya ustadz nasyid di Arab itu syair gak pakai musik sungguh batil bila dijadikan dalil bagi nasyid zaman sekarang,ya ustadz benarlah demo adalah bid`ah karena para sahabat tak pernah demo dari berbagai segi bukankah ustadz sendiri bilang ada syariatnya untuk berdemo,lah itu tambah kacau berarti ustadz menjadikan demo sebagai amalan dalam syariat Islam ya itu mah termasuk bid`ah dhalalah,masalah kuda dan perang Khandaq mah itu masalah duniawi ustadz.
Untuk bantahan selanjutnya akan saya bantah berhubung waktu shalat sih,oh ya maaf mbok dalil si ustadz di jawaban atas hujjah kedua jangan terlihat akan kesilapan/kesalahannya abis perut saya tertawa abis2an ni ha..ha..
pada April 29, 2011 pada 9:06 am | Balas Fahrul
insya alla dlm waktu dekat akan saya bantah lagi,cuma pesan saya,itu jawaban atw curhat sih,gak b`mutu mmaf ya
pada April 29, 2011 pada 11:56 am | Balas Fahrul
HUJJAH KEDUA DARI SYAIKH:
Nabi SAW terkena fitnah dan ujian para sahabat sepeninggal beliau juga demikian, seperti peperangan dengan orang-orang murtad, tidak ketinggalan pula umat beliau selama berabad-abad juga diuji. Akan tetapi mereka semua tidak demonstrasi. Jika demonstrasi itu baik, tentunya mereka akan mendahului kita untuk melakukannya.
JAWABAN SAYA:
Demonstrasi -seperti yang sudah saya katakan- hanya merupakan sebuah wasilah dakwah, sama seperti metode Khandaq -yang juga telah saya sebutkan takhrij hadits-nya di atas-, maka tentu saja ia tidak perlu dilakukan kecuali pada saat ia diperlukan saja, bisa sekali atau seringkali tergantung kebutuhannya.
Sebagaimana saya katakan di atas, bahkan dimasa Nabi SAW juga pernah dilakukan demonstrasi, maka akan saya sebutkan beberapa bukti peristiwa demonstrasi dalam Sirah berikut takhrij hadits-haditsnya, namun sebelum itu marilah kita telaah kayfiyyat (tatacara) demonstrasi itu sendiri sebagai berikut:
Demonstrasi bisa dilakukan secara perorangan maupun berkelompok, demonstrasi secara perorangan disebutkan dalilnya dalam Sirah yang Shahih diantaranya sebagai berikut:
1. Demonstrasi Abu Dzar RA saat ia baru masuk Islam. Diriwayatkan saat ia baru masuk Islam, Nabi SAW sudah melarangnya (berdemonstrasi) menunjukkan keIslamannya di depan umum, namun ia bersikeras dan berkata: “Demi ALLAAH! Akan aku sampaikan risalah ini secara terang-terangan di depan mereka semua!” (dan Nabi SAW membiarkannya) Maka iapun melakukannya hingga dihajar sampai babak-belur oleh aparat keamanan Quraisy, sehingga ditolong oleh Abbas RA[16].
2. Demonstrasi masuk Islamnya Umar RA di Masjidil Haram. Diriwayatkan saat ia baru masuk Islam, ia langsung bertanya tentang siapa tokoh Qurasiy yang paling cepat menyebar berita (baca: jurnalis-ulung), saat dijawab: Jamil bin Mu’ammar Al-Jamhi, maka Umar RA langsung menemuinya dan menyampaikan keIslamannya, tanpa menjawab Jamil langsung menarik kainnya pergi lalu menyiarkan berita ini di mesjid Haram, sehingga terjadi perdebatan seru antara Umar RA dengan orang-orang Qurasiy hingga tengah hari[17].
Demonstrasi yang dilakukan secara berkelompok, adalah sebagai berikut:
1. Demonstrasi para Shahabat RA, melakukan shalat secara terang-terangan di Ka’bah pasca Islamnya Umar RA. Berkata Ibnu Mas’ud RA: “Sungguh kami takut melakukan shalat terang-terangan di Ka’bah sebelum Umar masuk Islam, namun setelah ia masuk Islam maka ia berani mengajak mereka bertengkar, sehingga kami berani melakukan shalat terang-terangan disana[18].”
2. Awal mulanya sejarah Idhthiba’ (demonstrasi menunjukkan kekuatan kaum muslimin pada aparat dan pemerintah kafir Quraisy) saat Thawaf. Bulan Dzulqa’dah th ke-7 Hijrah Nabi SAW bersama para shahabat RA melakukan umrah-qadha’ atas Hudhaibiyyah yang gagal[19], singkat cerita saat thawaf di Ka’bah nabi SAW menyuruh para shahabatnya RA ber-thawaf sambil demontrasi memamerkan otot tangan kanan mereka (demontrasi kekuatan kaum muslimin), sehingga kaum musyrikin kagum akan kekuatan fisik muslimin yang sedang Thawaf tersebut[20]. Setelah lewat 3 hari kaum musyrik menemui Ali RA sambil berkata: Tolong sampaikan pada teman-teman anda agar segera meninggalkan kami karena batas waktu (izin demonya) sudah habis[21]. Cara berdemo dengan idhthiba’ ini bahkan diperingati sampai sekarang dan menjadi kewajiban setiap lelaki muslim saat Thawaf.
Demikian wahai Syaikh –akramakaLLAAH-, jadi saat anda melihat sebuah perilaku yang dilakukan orang Barat atau siapapun yang non-muslim, jangan langsung merasa antipati, tapi cobalah renungkan mungkin Islam-lah yang lebih dulu telah melakukannya dan merekalah yang meniru kaum muslimin.
BANTAHAN
1. Demonstrasi Abu Dzar RA saat ia baru masuk Islam. Diriwayatkan saat ia baru masuk Islam, Nabi SAW sudah melarangnya (berdemonstrasi) menunjukkan keIslamannya di depan umum, namun ia bersikeras dan berkata: “Demi ALLAAH! Akan aku sampaikan risalah ini secara terang-terangan di depan mereka semua!” (dan Nabi SAW membiarkannya) Maka iapun melakukannya hingga dihajar sampai babak-belur oleh aparat keamanan Quraisy, sehingga ditolong oleh Abbas RA[16].
DARI MANA DALIL BOLEHNYA BERDEMONTASI??!! WONG DI SINI SAHABAT ITU MALAH MAU BERDAKWAH BUKAN DEMONSTRASI SEPERTI PADA MASA KINI, APA IYA TABLIGH AKBAR ITU DEMONSTRASI??? HANYA ORANG BERAKAL JERNIH TAU MAKSUD SAYA
2. Demonstrasi masuk Islamnya Umar RA di Masjidil Haram. Diriwayatkan saat ia baru masuk Islam, ia langsung bertanya tentang siapa tokoh Qurasiy yang paling cepat menyebar berita (baca: jurnalis-ulung), saat dijawab: Jamil bin Mu’ammar Al-Jamhi, maka Umar RA langsung menemuinya dan menyampaikan keIslamannya, tanpa menjawab Jamil langsung menarik kainnya pergi lalu menyiarkan berita ini di mesjid Haram, sehingga terjadi perdebatan seru antara Umar RA dengan orang-orang Qurasiy hingga tengah hari[17].
SUNGGUH USTADZ INI HARUS BERPIKIR ULANG LAGI TTG PEMAHAMAN HADITS INI,MANA DALIL DEMONYA SYAIKH WONG SI UMAR MENUNJUKKN KEISLAMAN SAJA DI DEPAN MASYARAKAT QURAISY TERUS BEDEBAT YA KAYAK IMAM ABUL HASAN AL ASY` ARI MENGUMUMKANN TAUBATNYA DI DEPAN KHALAYAK RAMAI TAK SATUPUN MEREKA MENGATAKAN ITU DEMO BAHKAN ZAMAN SEKARANG BANYAK DAI DALAM CERAMAHNYA DAHULUNYA SEORANG KAFIR KEMUDIAN MASUK ISLAM APA IYA INI NAMANYA DEMO(???!!!)
1. Demonstrasi para Shahabat RA, melakukan shalat secara terang-terangan di Ka’bah pasca Islamnya Umar RA. Berkata Ibnu Mas’ud RA: “Sungguh kami takut melakukan shalat terang-terangan di Ka’bah sebelum Umar masuk Islam, namun setelah ia masuk Islam maka ia berani mengajak mereka bertengkar, sehingga kami berani melakukan shalat terang-terangan disana[18].”
ADUH BATIL DI MANA SIH LETAK DEMONYA(??!!) APA GARA2 SHLT TERANG2AN KOK DISAMAKAN MALAH INI MAH SAMA AJA MENJADIKAN DEMO ITU IBADAH WAH BID`H LAGI
2. Awal mulanya sejarah Idhthiba’ (demonstrasi menunjukkan kekuatan kaum muslimin pada aparat dan pemerintah kafir Quraisy) saat Thawaf. Bulan Dzulqa’dah th ke-7 Hijrah Nabi SAW bersama para shahabat RA melakukan umrah-qadha’ atas Hudhaibiyyah yang gagal[19], singkat cerita saat thawaf di Ka’bah nabi SAW menyuruh para shahabatnya RA ber-thawaf sambil demontrasi memamerkan otot tangan kanan mereka (demontrasi kekuatan kaum muslimin), sehingga kaum musyrikin kagum akan kekuatan fisik muslimin yang sedang Thawaf tersebut[20]. Setelah lewat 3 hari kaum musyrik menemui Ali RA sambil berkata: Tolong sampaikan pada teman-teman anda agar segera meninggalkan kami karena batas waktu (izin demonya) sudah habis[21]. Cara berdemo dengan idhthiba’ ini bahkan diperingati sampai sekarang dan menjadi kewajiban setiap lelaki muslim saat Thawaf.
USTADZ2 TAMBAH JAHIL SAJA PENGAMBILAN ISTIMBATNYA,WONG INI MERUPAKAN SIYASAH RASULULLAH DAN SYIAR ISLAM KARENA SAAT ITU KAUM MUSLIMIN SEDANG DEMAM MAKA ORANG KAFIR MENGEJEK2 MEREKA MAKA RASULULLAH MEMBERI PETUNJUK AGAR MEREKA BERJALAN SEOLAH2 SEHAT AGAR MUSYIRIKIN SALAH DAN TERHINA,INI KASUS SAMA DENGAN ORANG DIFITNAH MAKA SANG KORBAN HARUS MENUNJUKKAN BAHWA DIA TAK BERSALAH DAN TAK BERSEDIH ATAS FITNAH TERSEBUT DAN MEMBUAT TUKANG FITNAH JENGKEL DAN TERHINA APA IYA INI DEMO(??!!)BEDA AMA DEMO KAN, SATU LAGI KAN INI JADI THAWAF APA DEMO SEKARANG JG JADI THAWAF YA WAH TAMBAH BID`AH
CATATAN DEMONSTRASI ATAU UNJUK RASA ADALAH MENYAMPAIKAN SUATU PENDAPAT DI MUKA UMUM LOH
OH YA LUPA SATU LAGI NABI KEPALA PEMERINTAHAN BUKAN PEMIMPIN ORGANISASI LOH,HE..HE.. JANGAN SAMAKAN PARTAI SAMA NEGARA
Syubhat-syubhat Seputar Demonstrasi
12 Mar
Bissmillahirrahmaanirrahiem…
Adalah musibah besar ketika umat kehilangan ulama-ulama robbani-nya. Musibah ini mengakibatkan sejumlah mafsadat nyata. Yang paling besar di antaranya ialah: makin beraninya ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu dalam mendakwahkan bid’ah dan kesesatan mereka. Imam Al Aajurry mengatakan dalam kitab “Akhlaqul Ulama”: “ Para ulama ibarat pelita manusia, penerangan negara, dan tonggak kejayaan umat. Mereka ibarat sumber hikmah yang selalu memancing kemarahan setan. Melalui mereka, hati pengikut kebenaran akan hidup, dan hati pengikut kesesatan akan mati. Perumpamaan mereka di bumi ibarat bintang-bintang di langit, yang menjadi petunjuk di kegelapan malam saat berlayar di tengah lautan. Jika bintang-bintang itu hilang, bingunglah para pelaut tak karuan; dan begitu cahayanya terlihat, barulah mereka bisa melihat di kegelapan”.
Salah satu contohnya ialah sebagaimana yg diceritakan oleh Al Hafizh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’, dari Yahya bin Aktsam yang mengisahkan: “Khalifah Al Ma’mun (yg berakidah mu’tazilah dan meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluk) pernah berkata kepada kami: “Kalaulah bukan karena posisi Yazid bin Harun (salah seorang tokoh Ahli Sunnah di zamannya), pastilah kunyatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Ada yg bertanya: Memangnya siapa itu Yazid sehingga perlu disegani? Jawab Al Ma’mun: Payah kamu ! Aku menyeganinya bukan karena ia berkuasa, namun aku khawatir jika kunyatakan masalah ini kemudian ia membantahku, sehingga terjadi perselisihan di tengah masyarakat dan timbul fitnah”.
Ini menunjukkan bahwa hidupnya para tokoh Ahlussunnah merupakan benteng bagi syari’at dan manusia secara umum dari pengaruh bid’ah dan kesesatan. Meskipun kisah ini berkaitan dengan penjagaan terhadap bid’ahnya penguasa, akan tetapi maknanya juga berlaku dalam menjaga umat dari kesesatan semua kalangan, baik mereka itu penguasa maupun rakyat jelata. Sebagian orang yang berjiwa revolusioner cenderung memahami keberanian hanya dalam skup amar ma’ruf nahi munkar; dan ketika seseorang berani menyatakan kebenaran di depan penguasa saja; bukan di depan yg lainnya.
Padahal, realita yang terjadi adalah bahwa keberanian itu lebih luas cakupannya dari kedua contoh tadi. Bahkan keberanian sesungguhnya ialah ketika seseorang bisa bersabar demi membela sunnah dan membasmi bid’ah saat kebanyakan orang menentang sikapnya. Betapa banyak kalangan yang mendapat dukungan publik dan popularitas karena sikapnya yang ‘anti-pemerintah’… bahkan ada di antara mereka yang sengaja menjadikan hal itu sebagai wasilah untuk mewujudkan ambisinya… sehingga bila pengikutnya telah demikian banyak, ia pun akan ‘bernegosiasi’ dengan pemerintah dengan imbalan materi atau yang semisalnya !
Saat ini, kita telah kehilangan tiga orang ulama top di mata Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddien Al Albani, dan Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin -rahimahumullah jami’an-.
Pasca wafatnya ketiga ulama tadi, badai fitnah mulai melanda satu-persatu… berbagai kelompok yang terpengaruh pemikiran harakah mulai ‘unjuk gigi’ dan terang-terangan mendukung demonstrasi, bahkan menganggapnya sebagai saranya inkarul munkar yang syar’i.
Karena tergiur dengan demonstrasi yang cocok dengan selera mereka, mereka pun mencari-cari dalil yang sarat dengan ketidakjelasan (baca: syubhat); demi membantah dalil-dalil nyata yang bersih dari syubhat. Mereka meyakini terlebih dahulu, baru kemudian mencari dalil mati-matian untuk membenarkan keyakinannya. Inilah karakter mereka dalam menyikapi banyak wasilah dakwah yang tergolong bid’ah… seperti yang mereka namakan nasyid Islami, drama Islami, dan seterusnya…
Berikut ini adalah sebagian syubhat yang penulis temukan dalam pernyataan mereka, beserta bantahannya. Akan tetapi sebelum mengupas hal itu secara ilmiah, ada baiknya jika kita mengetahui dalil-dalil mereka yang mengharamkan demonstrasi, sbb:
Demonstrasi sebenarnya terbagi menjadi dua:
Pertama, demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang bersifat syar’i.
Kedua, demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang bersifat duniawi; dan inipun terbagi menjadi dua:
Pertama, demonstrasi untuk menjatuhkan pemerintahan, yang semata-mata karena motivasi duniawi bukan agama.
Kedua, demonstrasi untuk kepentingan duniawi lainnya.
Adapun jenis pertama, yaitu demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang bersifat syar’i, maka hukumnya tergolong bid’ah dalam agama. Sebab ia merupakan perkara baru, sedangkan kaidah syar’i yang berlaku dalam hal ini, ialah yang dikatakan oleh Nabi, bahwa semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana yg diriwayatkan oleh imam Muslim dalam Shahihnya, dari Jabir secara marfu’.
Kalau ada yang berkata: “Demonstrasi kan termasuk wasilah (sarana), dan menggunakan wasilah hukum asalnya boleh selama ia memang mubah?”
Maka jawabnya: Memang benar. Akan tetapi hukum ini adalah bagi wasilah-wasilah yang bukan ditujukan untuk ibadah, sebab wasilah apa pun tidak lepas dari tiga kondisi:
Pertama, wasilah yang dianggap tidak berlaku. Yaitu setiap wasilah yang dilarang secara khusus oleh suatu dalil. Wasilah semacam ini jelas merupakan bid’ah bila digunakan. Seperti orang yang menggunakan drama sebagai sarana berdakwah, ini jelas haram hukumnya, sebab drama mengandur unsur ‘bohong’ yang jelas-jelas diharamkan.
Kedua, wasilah-wasilah yang dianggap mu’tabar. Yaitu setiap wasilah yang dibolehkan secara khusus oleh suatu dalil. Contohnya menggunakan adzan sebagai sarana memberitahukan masuknya waktu shalat. Ini jelas dibolehkan dan merupakan wasilah yang syar’i.
Ketiga, wasilah yang tidak memiliki dalil khusus yang membolehkan maupun melarangnya. Nah, wasilah semacam ini hukumnya berada antara mashalih mursalah dan bid’ah muhdatsah. Kaidah pembeda di antara keduanya -sebagaimana yg dirumuskan dengan sangat indah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- ialah dua poin berikut:
Pertama: kita harus memperhatikan hal yang diklaim sebagai maslahat dan hendak dilakukan tsb; apakah motivasi terjadinya hal tsb telah ada di zaman Nabi, dan tidak ada penghalangnya?
– Kalau memang kondisinya seperti itu, maka melakukan hal yg dianggap maslahat tadi hukumnya adalah bid’ah. Alasannya, kalaulah hal itu memang baik, maka para sahabat pasti lebih dulu melakukannya, sebab mereka lah yang lebih mengenal Allah, lebih takut kepada-Nya dan semua kebaikan ialah dengan mengikuti sikap mereka.
– Namun bila motivasi (atau sebab yang mendorong) terwujudnya hal tsb belum ada di zaman Nabi; atau sudah ada namun ada penghalang tertentu yang menghalangi dilakukannya hal yang dianggap maslahat tersebut; maka hal ini tidak dianggap sebagai bid’ah, bahkan ialah yang dimaksud dengan maslahat mursalah. Contohnya seperti pengumpulan Al Qur’an di zaman Rasulullah. Kita tahu para sahabat tidak memiliki motivasi dlm hal ini, sebab Rasulullah masih hidup di tengah-tengah mereka dan mereka tidak khawatir Al Qur’an akan hilang atau dilupakan. Namun setelah beliau wafat, mulailah kekhawatiran tersebut muncul, sehingga para sahabat terdorong untuk mengumpulkan Al Qur’an. Contoh lainnya ialah mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, merekam kajian dengan kaset, dan shalat tarawih berjama’ah di bulan Ramadhan. Semua hal ini terhalang untuk dilakukan di zaman Nabi. Dua contoh yang pertama tidak bisa dilakukan karena memang sarananya belum ada di zaman Nabi, sedangkan contoh ketiga ialah karena Nabi sengaja meninggalkannya supaya tidak diwajibkan, sedangkan pasca wafatnya Nabi, tidak mungkin ada sesuatu yang tadinya tidak wajib menjadi diwajibkan.
Kedua, jika motivasi (sebab yang mendorong) dilakukannya hal tersebut belum ada di zaman Nabi, maka perlu diperhatikan: apakah yang mendorong dilakukannya hal itu bagi kita adalah dosa sebagian kalangan? Kalau memang demikian, maka seseorang tidak boleh mengadakan hal baru yang menurutnya adalah maslahat mursalah. Bahkan kita diperintahkan untuk kembali kepada dienullah dan berpegang teguh dengannya; sebab inilah yang dituntut agar dilakukan oleh pihak yang berdosa, sedangkan pihak yang tidak berdosa hendaknya mengajak pihak yang berdosa agar segera bertaubat. Contoh tipe kedua ini misalnya mendahulukan khutbah sebelum shalat hari Raya agar orang-orang mendengarkan khutbah hingga selesai. Tindakan semacam ini tergolong bid’ah muhdatsah dan bukannya mashalih mursalah. Berikut ini adalah ucapan Ibnu Taimiyyah yg menjelaskan kaidah tersebut dlm Iqtidha’ Shiratil Mustaqim (2/59): “Kaidah dlm hal ini -wallahu a’lam- adalah dengan menyatakan bahwa orang-orang tidak mungkin mengada-adakan sesuatu, kecuali karena menganggapnya bermaslahat, sebab jika mereka menganggapnya bermafsadat, niscaya mereka tidak akan mengada-adakannya. Sebab secara logika maupun agama, hal itu tidak aka nada manfaatnya. Jadi, berkenaan dengan apa-apa yang dipandang maslahat oleh masyarakat, kita harus meneliti apakah sebab yang mendorongnya? Kalau memang sebab tersebut adalah sesuatu yang baru terjadi di zaman Nabi dan bukan akibat keteledoran kita; maka dalam kondisi ini bisa saja kita mengadakan apa-apa yang perlu diadakan. Demikian pula ketika sebab yang mendorongnya telah ada di zaman Nabi, namun beliau meninggalkannya karena suatu halangan yang kemudian hilang setelah beliau wafat, maka kita juga boleh melakukan hal tersebut.
Adapun hal-hal yang belum memiliki sebab terjadinya, atau sebab terjadinya adalah dosa sebagian kalangan; maka ketika ini kita tidak boleh mengada-adakan suatu. Jadi, segala perkara yang sebab terjadinya telah ada di zaman Nabi namun tidak dilakukan, maka ia sebenarnya bukan suatu maslahat. Adapun apa yang penyebabnya baru ada setelah kematian beliau dan bukan karena maksiat manusia; maka boleh jadi ia termasuk maslahat bila dilakukan kemudian.
Beliau lantas mengatakan: Adapun apa-apa yang sebabnya telah ada di zaman beliau -dan dianggap maslahat-, namun beliau tetap tidak mensyari’atkannya; maka bila hal tersebut tetap dilakukan, berarti mengadakan perubahan dalam agama Allah. Para penguasa, ulama, dan ahli ibadah yang dianggap terjerumus dalam tindakan merubah agama Allah tadi, biasanya karena hasil ijtihad. Hal ini telah diperingatkan oleh Nabi sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, yang berbunyi:
إن أخوف ما أخاف عليكم: زلَّة عالِم, وجدال منافقٍ بالقرآن, وأئمةٌ مضلُّون
“Termasuk hal yang paling kutakutkan atas kalian ialah: tergelincirnya seorang alim, orang munafik yang pandai berdebat dalam Al Qur’an, dan pemimpin-pemimpin yang menyesatkan”.
Contoh dari tipe ini ialah mengumandangkan adzan sebelum shalat hari raya. Ketika ada sebagian penguasa yang mengadakan hal tersebut, kaum muslimin segera mengingkarinya karena merupakan bid’ah.
Setelah menyimak penjelasan yang memukau dari Syaikhul Islam tadi, kita jadi tahu bahwa perbuatan sahabat dan salaf menunjukkan bahwa memang bid’ah bisa saja masuk ke hal-hal yang bersifat wasilah, sebagaimana masuk ke hal-hal yg bersifat ghaayah (tujuan). Siapa yang menentang hal tersebut, berarti menentang para salaf dan menjadi rival mereka. Agar lebih jelasnya, coba perhatikan contoh berikut:
Dalam kasus pengumpulan Al Qur’an, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab ra mengusulkan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan Al Qur’an. Maka jawab Abu Bakar: “Bagaimana kamu hendak melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah?”. Jawaban ini pula yang diucapkan Zaid bin Tsabit kepada Abu Bakar ketika ditawari untuk mengumpulkan Al Qur’an.
Ini jelas menunjukkan bahwa bid’ah pun bisa masuk ke hal-hal yang sifatnya wasilah (sarana), sebagaimana masuk ke ibadah itu sendiri. Sebab, mengumpulkan Al Qur’an sebetulnya merupakan sarana, pun demikian, mereka berdalih bahwa Rasulullah tidak melakukannya.
Lantas, mengapa kok akhirnya mereka kumpulkan juga? Jawabnya: Karena alasannya baru ada di zaman Abu Bakar, mengingat dahulu ketika Nabi masih hidup, mereka tidak khawatir Al Qur’an akan terlupakan karena Nabi ada di tengah mereka.
Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Ad Darimi dan Ibnu Wadhdhah bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari orang-orang yg membikin halaqah-halaqah dzikir dan menghitung lafazh takbir, tasbih, dan tahlil mereka dengan kerikil. Beliau berdalil bahwa Rasulullah dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu, padahal menghitung tasbih tak lebih dari sarana saja.
Setelah mengetahui bahwa demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang syar’i adalah bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat -padahal mereka bisa saja melakukannya-, maka tidak lagi dibenarkan bila seseorang memrotes hal ini karena menganggap bahwa hukum asal demonstrasi adalah ‘mubah’ dan tidak boleh dilarang kecuali dengan dalil. Mengapa demikian? Karena dalam kasus ini, demonstrasi menjadi ibadah, dan hukum asal ibadah adalah ‘haram’. Mereka yang memrotes hal tersebut sama dengan mereka yang memrotes pelarangan merayakan maulid Nabi, dengan dalih bahwa hal tersebut tidaklah dilarang.
Maka sanggahannya: yang menjadi dalil bahwa hal tersebut dilarang, ialah karena ia merupakan ibadah yang tidak memiliki dalil yang mensyariatkannya, sehingga jadilah ia bid’ah. Karena hukum asal setiap bentuk ibadah adalah ‘terlarang’ dan ‘tidak boleh’.
Adapun demonstrasi (unjuk rasa) tipe kedua yang tujuannya hal-hal duniawi, juga ada dua macam. Pertama, unjuk rasa untuk menjatuhkan pemerintah karena alasan duniawi murni. Hal ini diharamkan jika ditilik dari nas-nas yang mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada pemerintah, meskipun dia seorang fasik dan zhalim. Selain dalil yang demikian banyak dalam hal ini, para salaf juga telah ijma’ akan haramnya hal tersebut. Mereka menganggap pihak yang menyelisihi dalam hal ini sebagai orang yg keliru (baca: tersesat). Silakan anda teliti sendiri di berbagai kitab yang memuat akidah para salaf.
Siapa yang berusaha menentangnya, maka ucapannya tertolak, dan ia tersesat karena menyelisihi dalil-dalil sunnah dan atsar para salaf. Dengan alasan seperti inilah para salaf menganggap sesat berbagai kelompok.
Haramnya unjuk rasa macam ini semakin besar jika dilakukan demi agama, sebab selain haram, dia juga dianggap bid’ah. Di samping itu, dalil-dalil yang akan kami sebutkan berkenaan dengan unjuk rasa tipe kedua, juga bisa menjadi dalil bagi tipe pertama.
Adapun tipe kedua, yaitu unjuk rasa untuk kepentingan duniawi lain selain menjatuhkan pemerintah; maka hukumnya haram dari berbagai sisi:
Pertama; meskipun unjuk rasanya bersifat damai, tetap saja ia bertentangan dengan perintah Rasulullah agar bersabar terhadap kezhaliman penguasa yang merampas hak-hak rakyatnya. Sebagaimana yg diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah bersabda:
ستكون أثَرَةٌ وأمور تنكرونها، قالوا يا رسول الله فما تأمرنا ؟ قال: تؤدون الحق الذي عليكم، وتسألون الله الذي لكم
Kelak akan terjadi sikap mementingkan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari[1]. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami?”. Kata beliau: “Tunaikanlah haknya atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah”.
Dalam Shahihain, Usaid bin Hudhair meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:
ستلقون بعدي أثرة، فاصبروا حتى تلقوني على الحوض
Sepeninggalku nanti, kalian akan mendapati sikap mementingkan diri (pada para penguasa). Maka bersabarlah ! Hingga kalian bersua denganku di Telaga” (yakni telaga beliau di hari Kiamat).
Jadi, kita diperintah agar bersabar… bukan berunjuk rasa untuk menekan pemerintah. Para imam dan ulama ahlussunnah juga memerintahkan agar kita bersabar. Mereka mengatakan: (حتى يستريح بر، أو يستراح من فاجر) “(Tunggu saja) sampai orang yang baik istirahat (wafat) atau yang bejat diistirahatkan (diwafatkan)”.
Kedua; melalui unjuk rasa, roda pemerintahan akan berpindah ke tangan rakyat, dan ini merupakan pintu kerusakan. Tiap kali rakyat menginginkan sesuatu, mereka lantas berunjuk rasa menuntutnya. Kalaulah para pemuja hawa nafsu menghendaki agar syahwat mereka terpuaskan dengan cara haram, mereka akan terus berunjuk rasa hingga tuntutan mereka dipenuhi. Kemudian jika kaum sekuler dan liberal menginginkan sesuatu, mereka juga tinggal berunjuk rasa hingga tuntutannya dikabulkan… demikian seterusnya.
Padahal kita semua memaklumi bahwa kalangan yang baik dan agamis jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang lainnya dalam komunitas kaum muslimin. Allah berfirman:
فَمِنْهُمْ مُهْتَدٍ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُون
Di antara mereka ada yang mendapat petunjuk, namun kebanyakan dari mereka adalah orang fasik (Al Hadid: 26).
Ketiga; sebagian besar aksi unjuk rasa -kalau tidak bisa dibilang seluruhnya- pasti mengandung campur baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat) dalam bentuk yang diharamkan. Unjuk rasa tanpa ikhtilat sangat jarang terjadi dan tidak bisa dijadikan tolok ukur. Bukti terkuat akan hal ini adalah kenyataan di lapangan.
Keempat; kezhaliman penguasa penyebabnya adalah dosa rakyatnya. Sedangkan dosa tidak akan diampuni kecuali dengan taubat dan tunduk kepada Allah. Bukan dengan unjuk rasa. Dalam Minhajus Sunnah (4/315), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Hasan Al Bashri sering berkata: Hajjaj (bin Yusuf) adalah siksa Allah, maka janganlah kalian lawan siksa Allah dengan kekuatan, namun kalian harus tunduk dan bersimpuh di hadapan Allah; sebab Allah berfirman: (وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ) “Sebelumnya kami pernah menimpakan azab kepada mereka, akan tetapi mereka tidak menjadi tunduk dan bersimpuh di hadapan Rabb mereka” (Al Mukminun: 76). Thalq bin Habib (seorang tabi’in) juga sering berkata: “Waspadailah fitnah dengan bertakwa…” [.]
Keempat sisi ini berkaitan dengan unjuk rasa yang dianggap ‘damai’. Adapun unjuk rasa yang disertai kekerasan, maka selain mengandung berbagai mudharat tadi, ia juga mengakibatkan pertumpahan darah, perusakan harta benda, pelanggaran kehormatan, dll.
Setelah semua penjelasan ini, marilah kita kupas syubhat-syubhat mereka yang membolehkan unjuk rasa (pendukung demonstrasi) beserta sanggahannya. Dan sekali lagi perlu saya tegaskan, bahwa sebenarnya mereka meyakini terlebih dahulu baru mencari-cari dalil dengan penuh takalluf (pemaksaan) dan pemelintiran nas-nas syari’at.
Syubhat ke-1. Pendukung demonstrasi mengklaim bahwa perbuatan unjuk rasa telah disinggung dalam hadits, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/40), bahwa pasca masuk Islamnya Umar bin Khatthab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah keluar memimpin dua barisan yang berisi sahabatnya. Barisan pertama dikepalai oleh Umar, dan barisan kedua oleh Hamzah. Beliau melakukan hal tersebut demi menunjukkan kekuatan kaum muslimin, sehingga kaum Quraisy tahu bahwa kaum muslimin memiliki kekuatan.
Sanggahannya: Ini sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan unjuk rasa bila ditinjau dari dua sisi; yaitu sisi riwayah dan dirayah.
Secara riwayah (verifikasi riwayat): sanadnya tergolong dha’if, sebab ada perawi yang bernama Ishaq bin Abi Farwah. Imam Ahmad mengatakan: “Menurutku, meriwayatkan hadits darinya adalah tidak halal”. Beliau juga mengatakan: “Ia tidak pantas diterima riwayatnya”. Sedangkan Ibnu Ma’ien mengatakan bahwa ia itu kadzdzab (pendusta) (lihat biografinya di tahdzibut tahdzib).
Adapun secara dirayah (pemahaman hadits), kota Makkah sebenarnya tidak memiliki kekuasaan yang syar’i, sebab musuh kaum muslimin di sana adalah kafir harbi. Maka setelah kaum muslimin makin kuat, merekapun memakai kekuatan sesuai kemampuan. Lantas dimanakah letak persamaannya antara kejadian ini dengan para demonstran yang berkumpul melawan pemerintah mereka, dalam rangka menunjukkan kemarahan mereka atas suatu kebijakan tertentu??!!
Syubhat ke-2: Pendukung demonstrasi mengklaim bahwa alasan bolehnya berdemonstrasi ialah karena ia merupakan sarana yang mujarab, dan terbukti bermanfaat untuk mencapai tujuan.
Sanggahan atas syubhat ini dalam dua sisi:
Pertama, terbukti pula dalam sangat banyak kejadian bahwa demonstrasi tidak mendatangkan manfaat. Jadi, ia merupakan sarana yang tidak pasti. Belum lama ini kita menyaksikan demonstrasi di Prancis melawan kebijakan pelarangan cadar, tapi toh tidak ada manfaatnya. Dan masih banyak contoh lain. Nah, bila kenyataannya seperti ini, maka ini tidak bisa menjadikan apa yang haram menjadi boleh, dan sebelumnya telah kita paparkan dalil-dalil yang mengharamkan demonstrasi.
Kedua, kalaupun akhirnya sarana ini berhasil membuahkan, maka tetap saja ia tidak bisa menjadi tolok ukur halal dan sahnya perbuatan itu sama sekali. Alasannya karena tujuan tidaklah menghalalkan segala cara.
Syubhat ke-3: Pendukung demonstrasi juga berdalil bahwa Rasulullah pernah didatangi oleh seorang lelaki yang mengeluhkan tetangganya. Nabipun berkata: “Sabarlah” (tiga kali), lalu keempat kalinya beliau berkata: “Buanglah barang-barangmu di jalan”, dan lelaki itupun menurutinya. Orang-orang yang lewat di sampingnya lantas bertanya: “Ada apa denganmu?” maka katanya: “Ia diganggu oleh tetangganya”, sehingga merekapun melaknat tetangganya. Si tetangga kemudian mendatanginya dan berkata: “Ambillah kembali barang-barangmu. Demi Allah, aku takkan mengganggumu lagi selamanya!”. Dalam riwayat lain disebutkan: Tetangga yang mengganggu tadi lantas datang kepada Rasulullah seraya mengeluh: “Ya Rasulullah, tahukah apa yang kuterima dari orang-orang?” “Apa yang kau terima dari mereka?” tanya beliau. “Mereka melaknatiku”, katanya. Maka jawab beliau: “Allah telah melaknatmu sebelum mereka”. “Aku takkan mengulanginya” kata orang itu. Lalu datanglah lelaki yang tadi mengeluhkannya kepada Nabi, maka Nabi bersabda kepadanya: “Ambil kembali barang-barangmu, Karena masalahmu telah ditanggulangi”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang ‘berkumpul menentangnya’.
Sanggahannya: Istidlal (cara berdalil) mereka dengan hadits ini semakin menguatkan asumsi bahwa mereka telah meyakini terlebih dahulu baru mencari-cari dalil, walaupun dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil. Contohnya hadits ini.
Mereka mengatakan bahwa dalam hadits ini disebutkan bahwa orang-orang berkumpul untuk mengingkari perbuatan tersebut. Maka bantahannya adalah dari beberapa sisi:
Pertama, riwayat yang mengatakan ‘maka orang-orang berkumpul menentangnya’, disebutkan dalam Al Adabul Mufrad, dan tergolong riwayat yang lemah, karena dari jalur Muhammad bin ‘Ajlan yang meriwayatkan dari ayahnya.
Kedua, perkumpulan mereka ini terjadi secara kebetulan, bukan disengaja untuk menekan dan mengingkari pemerintah. Ini jelas beda dengan unjuk rasa yang kita bahas.
Ketiga, kalaulah riwayat ini kita anggap shahih dan perkumpulan tersebut memang disengaja, maka di manakah letak kesamaannya dengan berkumpulnya sejumlah orang untuk menekan pemerintah, sebagaimana yang dilakukan para demonstran??
Keempat, kalaupun riwayat ini kita anggap shahih dan perkumpulan mereka memang disengaja; maka istidlal mereka paling-paling dengan mengqiyaskannya dengan unjuk rasa. Padahal telah menjadi ketetapan di antara seluruh ulama, bahwa bila suatu qiyas bertabrakan dengan dalil, jadilah ia qiyas yang fasid (rusak), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Dan dalil-dalil yang menunjukkan haramnya unjuk rasa telah kita bahas.
Kelima, instruksi Rasulullah tersebut tujuannya agar yang bersangkutan sadar akan bahayanya mengganggu tetangga, dan beliau adalah orang yang memiliki kekuasaan untuk mengingkari dengan ‘tangan’nya.
Syubhat ke-4: Mereka berdalil dengan anjuran syari’at kepada laki-laki, perempuan, bahkan gadis pingitan dan wanita haidh; untuk hadir di tempat shalat ‘ied. Ini menunjukkan dianjurkannya ‘demonstrasi’, sebab perbuatan tersebut mengandung unsur menunjukkan kekuatan kaum muslimin; sama halnya dengan demonstrasi.
Sanggahan atas hal ini adalah sbb;
Pertama, anjuran shalat ‘ied di lapangan bukanlah dalam rangka menunjukkan kekuatan kaum muslimin, namun dalam rangka menampakkan syi’ar ini yang mengandung beberapa hikmah. Di antaranya: menunjukkan kerukunan kaum muslimin, berkumpul di satu tempat, dan menampakkan rasa bahagia atas hari raya tersebut. Bukankah hal ini juga terjadi di zaman Rasulullah ketika kaum muslimin dalam kondisi kuat? Demikian pula di zaman Umar bin Khatthab dan Utsman bin ‘Affan, dan itu juga zaman-zaman keemasan Islam? Apalagi jika mengingat bahwa shalat tersebut dilakukan di Madinah, yang merupakan ibukota daulah Islam. Jadi, mereka hendak unjuk kekuatan kepada siapa di Madinah??
Kedua, kalaupun dalil ini kita terima, ujung-ujungnya adalah qiyas. Dan bila qiyas bertabrakan dengan dalil-dalil syar’i, maka rusaklah dia.
Ketiga, di manakah letak persamaannya antara berkumpulnya kaum muslimin untuk menghadiri shalat ‘ied, dengan berkumpulnya para demonstran untuk memrotes kebijakan pemerintah?
Aneh sekali cara mereka berdalil… tidakkah mereka berfikir?
Ketiga sanggahan tadi juga ditujukan kepada mereka yang berdalil dengan shalat jum’at, shalat berjama’ah di mesjid-mesjid, dan even-even ibadah semisal.
Syubhat ke-5: Mereka berdalih bahwa syari’at memerintahkan kita untuk mengingkari kemungkaran, dan demonstrasi ini juga demi mengingkari kemungkaran.
Sanggahannya adalah sebagai berikut:
Pertama, dalih tersebut tidak bisa diterima begitu saja. Sebab bolehnya mengingkari kemungkaran tidak berarti membolehkan cara tersebut -dengan mengingat kembali dalil-dalil yg mengharamkan demonstrasi-. Jadi, kebatilan tidak boleh diingkari dengan kebatilan juga. Cara untuk memperbaiki kondisi yang sesuai dengan syar’i masih banyak, bagi yang ingin melakukannya.
Kedua, tercapainya kemaslahatan melalui demonstrasi hanya bersifat dugaan, dan dalam berbagai kasus demonstrasi terbukti tidak bermanfaat. Kalau kenyataannya seperti itu, maka yang haram tidaklah menjadi boleh karenanya. Apalagi jika mengingat bahwa demonstrasi seringkali menyebabkan kemungkaran yang lebih besar.
Ketiga, syari’at telah mengajarkan berbagai cara untuk mengingkari kemungkaran. Jika seseorang menerapkannya dan ia berhasil, maka Alhamdulillah. Namun jika tidak berhasil, maka ia telah bebas dari tanggung jawab dan melaksanakan kewajibannya.
Syubhat ke-6: mereka berdalil bahwa Izzuddien bin Abdussalaam dan ulama lainnya pernah melakukan semisal demonstrasi.
Sanggahannya adalah sbb:
Pertama, kalaupun benar bahwa para ulama tadi melakukan hal tersebut, toh perkataan dan perbuatan ulama hanya bersifat menguatkan dalil sekaligus membutuhkan dalil (yuhtajju laha), dan bukan sebagai dalil (yuhtajju biha). Jadi, perbuatan dan perkataan ulama bukanlah hujjah (dalil) menurut ijma’ ulama. Apalagi jika ada sejumlah dalil yang mengarah kepada tidak dianjurkannya demonstrasi, sebagaimana yg telah dibahas.
Kedua, kebanyakan sikap ulama yang mereka nukil dalam masalah ini, tidak bisa dianggap sebagai demonstrasi sama sekali. Mereka hanya ‘memperluas’ pengertiannya dan menggunakan qiyas yang fasid, untuk menyamakannya dengan demonstrasi.
Ketiga, banyak perbuatan bid’ah yang juga dilakukan oleh mereka yang dijuluki ulama tersebut. Izzuddien bin Abdussalaam misalnya, ia menganggap bahwa para wali bisa saja mengetahui apa yang tertulis di lauhul mahfuzh (lihat kitab beliau yg berjudul ‘Qowa’idul Ahkam 1/140). Beliau juga termasuk orang yang menghujat para salaf dalam meyakini sifat-sifat Allah; dan kekeliruan (baca: kesesatan) beliau ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa-nya.
Syubhat ke-7: mereka yang merekayasa dalil, berdalih bahwa para ulama melarang demonstrasi hanya sebagai tindakan preventif (saddud dzarie’ah), karena bisa menimbulkan berbagai kerusakan. Nah, bila ada suatu demonstrasi yang diperhitungkan tidak akan menimbulkan kerusakan-kerusakan tadi, maka ia boleh dilakukan.
Untuk menyanggahnya, kita katakana bahwa tidak semua yang dilarang oleh para ulama sebagai tindak preventif (saddud dzarie’ah) berarti haru berakibat seperti itu. Akan tetapi maksudnya bahwa biasanya akan berakibat seperti itu, sehingga mereka melarangnya walaupun tidak berakibat seperti itu kadang-kadang. Inilah makna dari saddud dzarie’ah yang dalil-dalilnya dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau yang berjudul ‘Bayaanud daliel ‘ala Buthlaanit Tahliel’. Di sana beliau menyebutkan lebih dari 30 dalil yang mengarah kepada saddud dzarie’ah. Kemudian ditambahkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’ien hingga menjadi 99 dalil.
Salah satu dalil bahwa saddud dzarie’ah dapat dipakai sebagai hujjah, adalah aturan syari’at yang mengharamkan seorang lelaki berduaan dengan wanita ajnabiyah. Alasannya ialah agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang diharamkan Allah. Padahal mungkin saja terjadi dua-duaan tanpa melakukan hal-hal yang diharamkan. Pun demikian, hal ini tetap dilarang dan diharamkan. Nah, seperti itu pula lah setiap hal yang dilarang dalam rangka saddud dzarie’ah; karena syari’at tidak membeda-bedakan kasus yang sejenis.
Syubhat ke-8: Ada sebagian kalangan yang menisbatkan demonstrasi kepada para salaf dan sahabat Nabi; dan menganggapnya sebagai metode yang ‘salafi’ karena dilakukan oleh para sahabat. Dalil mereka ialah bahwa Ummul Mukminin Aisyah ك , Thalhah bin ‘Ubeidillah, dan Az Zubeir bin ‘Awwam م , telah berkumpul dalam Perang Jamal dan ini merupakan fenomena demonstrasi. Sebab mereka bermaksud menekan dan memrotes Ali bin Abi Thalib ط .
Cara berdalil seperti ini juga menguatkan asumsi yang lalu, bahwa para pendukung demonstrasi memang telah meyakini terlebih dahulu, baru kemudian mencari-cari dalil secara paksa untuk membenarkan keinginan mereka. Kejadian Perang Jamal ini tidak sah dijadikan dalil karena beberapa alasan:
Pertama, berkumpulnya mereka saat itu bukan dalam rangka menekan Ali bin Abi Thalib agar melakukan sesuatu. Mereka hanya berkumpul untuk menuntut darahnya Utsman bin Affan. Jadi, Az Zubeir bin ‘Awwam dan Thalhah bin ‘Ubeidillah terjun dalam rangka menuntut darah ‘Utsman. Sedangkan Aisyah terjun dalam rangka ishlah (mendamaikan), sebagaimana dalam sebuah riwayat shahih dari beliau sendiri, yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (6/236).
Jadi, mereka tidak berkumpul di Perang Jamal dalam rangka apa yang disebut: unjuk rasa untuk menekan pemerintah agar melakukan sesuatu. Sebab mereka sebenarnya ingin terjun langsung dalam menuntut balas kematian Utsman.
Kedua, apa yang dilakukan oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubeir tadi merupakan suatu kesalahan yang akhirnya mereka sesali. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Minhajus Sunnah (6/129) berdasarkan nukilan dari mereka. Beliau mengatakan: “Aisyah juga menyesal karena ikut berangkat ke Basrah, dan tiap kali ia mengingat kejadian tersebut, ia menangis hingga air matanya membasahi kerudungnya. Demikian pula Thalhah yang menyesal karena mengira bahwa dirinya kurang maksimal dalam membela Utsman dan Ali, selain dengan cara itu. Zubeir pun juga menyesal karena berangkat pada saat Perang Jamal”.
Beliau juga mengatakan (4/170): “Aisyah sebenarnya tidak ikut perang, dan tidak berangkat untuk berperang. Ia hanya berangkat dengan maksud mendamaikan kaum muslimin, dan mengira bahwa keikutsertaannya akan mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin. Akan tetapi kemudian ia sadar bahwa yang lebih baik ialah bila dirinya tidak berangkat; sehingga tiap kali ia mengingat keberangkatannya ke Perang Jamal, iapun menangis hingga kerudungnya basah oleh air mata. Demikian pula seluruh sahabat yang tergolong assaabiquunal awwaluun. Mereka menyesali keterlibatan mereka dalam perang saudara… Thalhah, Zubeir, dan Ali semuanya menyesali hal tersebut. Tragedi Perang Jamal benar-benar diluar dugaan mereka, dan mereka sama sekali tidak punya niat untuk berperang”.
Telah dimaklumi pula, bahwa para sahabat secara personal tidaklah ma’sum. Mereka bisa saja keliru, dan bila mereka keliru maka hanya mendapat satu pahala, dan kedudukan mereka tetap terjaga. Namun bila mereka benar akan mendapat dua pahala, berdasarkan keumuman hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim, dan hadits Amru bin Ash dalam Shahihain; bahwa Nabi bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران. وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Jika seorang hakim berijtihad dalam membikin keputusan dan keputusan tadi ternyata benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun bila keputusannya salah maka ia mendapat satu pahala.
Nah, keputusan mereka dalam kasus ini adalah keliru; dan kekeliruan yang telah disesali oleh mereka tidak sah untuk dijadikan dalil. Barang siapa tetap mengikutinya, berarti dia mengikuti hawa nafsu.
Ketiga, ada sejumlah banyak sahabat yang menyelisihi mereka yang berangkat untuk menuntut darah ‘Utsman. Di antara yang paling keras menyelisihinya ialah Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar, bahkan mayoritas sahabat juga menyelisihi hal ini dengan tidak terlibat dalam fitnah tersebut; kecuali hanya beberapa gelintir saja di antara mereka yang terlibat.
Dalam Al Bidayah wan Nihayah (7/261), Ibnu Katsir mengatakan: Asy Sya’bi berkata: Tidak ada peserta perang Badar yang ikut membela Ali dalam hal ini kecuali hanya enam orang, tidak ada yang ketujuh. Sedangkan selain Asy Sya’bi mengatakan hanya empat orang. Ibnu Jarir dan yang lainnya mengatakan bahwa di antara tokoh sahabat yang menerima ajakan Ali adalah: Abul Haitsam ibnut Tiehan, Abu Qatadah Al Anshari, Ziyad bin Hanzhalah, dan Khuzaimah bin Tsabit”.
Jika memang demikian kenyataannya, maka kejadian Perang Jamal tidak sah untuk dijadikan dalil karena alasan tadi. Ini juga semakin menguatkan pernyataan para ulama, bahwa demonstrasi adalah cara bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi maupun para sahabat.
Berikut ini adalah fatwa sejumlah ulama Ahlussunnah kontemporer yang mengharamkan demonstrasi, agar kita bisa membandingkannya dengan pernyataan sebagian kalangan yang hanya mengandalkan semangat dan emosi dalam masalah ini.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
“Cara yang baik adalah faktor paling dominan yang menyebabkan diterimanya kebenaran. Sedangkan cara yang jelek adalah faktor paling berbahaya yang menyebabkan ditolaknya kebenaran, terjadinya kekacauan, kezhaliman, permusuhan, dan ketidak stabilan. Termasuk di dalamnya apa yang dilakukan sebagian kalangan dengan berunjuk rasa yang mengakibatkan kerugian besar atas para da’i. Mengadakan konvoi di jalan-jalan dan meneriakkan yel-yel bukanlah metode dakwah dan islah (memperbaiki kondisi). Metode yang benar ialah dengan mengadakan kunjungan dan menyurati dengan cara yang paling baik. Dengan cara inilah kita menasehati kepala negara, gubernur, dan pemuka kabilah (kelompok). Bukan dengan cara kekerasan dan demonstrasi. Karena Nabi selama 13 tahun tinggal di Mekkah tidak pernah memakai cara demonstrasi dan konvoi. Beliau juga tidak pernah mengancam orang-orang dengan tindak pengrusakan dan pembunuhan. Tidak diragukan lagi bahwa cara-cara semacam ini justru merugikan dakwah dan para da’i, serta menghalangi penyebaran dakwah. Bahkan menjadikan para penguasa dan pembesar semakin memusuhinya dengan segala kekuatan. Mereka menghendaki kebaikan dengan cara tersebut, namun yang terjadi justru sebaliknya. Jadi, bila seorang da’i mengikuti jalan para Rasul dan pengikutnya; maka meskipun lama, cara ini lebih utama daripada melakukan hal-hal yang merugikan dakwah dan mempersempit gerakannya, atau bahkan menumpasnya. Laa haula walaa quwwata illa billaah (majalah buhuts al islamiyyah, no 210 hal 38).
Syaikh Al Albani dalam kasetnya yg berjudul ‘Silsilah al huda wan nuur’ (no 210) mengatakan: “Memang benar, bahwa wasilah yang tidak bertentangan dengan syari’at hukum asalnya adalah mubah. Ini tidak masalah. Akan tetapi jika wasilah tersebut berupa meniru cara-cara yang tidak islami; maka wasilah tersebut menjadi wasilah yang tidak syari’i. Ikut serta dalam demonstrasi atau unjuk rasa untuk menampakkan kesukaan atau ketidak sukaan, dan menunjukkan dukungan atau protes terhadap suatu kebijakan atau undang-undang tertentu; cara semacam ini hanya klop dengan model pemerintahan yang mengatakan: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun ketika masyarakatnya bersifat islami, tidak perlu ada demonstrasi. Yang perlu dilakukan ialah menyampaikan hujjah kepada pemerintah yang menyelisihi syari’at.
Beliau kemudian berkata: “Aku menilai demonstrasi seperti ini bukan merupakan wasilah islami dalam menunjukkan sikap setuju atau tidak setuju dari rakyat. Sebab masih banyak cara lain yang bisa mereka tempuh…”
Kemudian beliau berkata: “Akhirnya, apakah benar bahwa demonstrasi-demonstrasi tadi bisa merubah kebijakan pemerintah jika para demonstran bersikukuh dengan tuntutannya? Kita tidak tahu sudah berapa banyak terjadi demonstrasi, dan berapa banyak korban jiwa yang jatuh di dalamnya; akan tetapi kondisinya tetap seperti sebelum terjadinya demonstrasi. Karenanya, kami tidak menganggap cara semacam ini dalam pengertian ‘bahwa hukum asal sesuatu adalah dibolehkan’, karena ia termasuk taklid kepada masyarakat barat”.
Dalam kitab Silsilah al Ahadiets al Maudhu’ah (14/74), beliau mengatakan: “Masih saja ada sejumlah kelompok Islam yang berunjuk rasa. Mereka lupa bahwa cara tersebut adalah kebudayaan dan metode orang kafir, yang hanya cocok dengan ideologi mereka bahwa pemerintahan itu milik rakyat; dan bertentangan dengan sabda Nabi yang mengatakan bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ع ”.
Syaikh Muhammad bin Utsaimin pernah ditanya: “Apakah demonstrasi termasuk wasilah dakwah yang syar’i?”.
Jawab beliau: “Demonstrasi adalah perkara baru yang tidak dikenal di zaman Nabi ع, di zaman khulafa’ur rasyidin, maupun para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Di samping itu, demonstrasi mengandung kekacauan dan kerusuhan yang menjadikannya terlarang… yaitu dengan pemecahan kaca, perusakan pintu, dan lain-lain. Dalam demonstrasi juga terjadi ikhtilat (campur-baur) antara laki-laki dengan perempuan, antara kawula muda dan orang tua, dan berbagai kemungkaran lainnya. Adapun masalah menekan pemerintah, kalaupun ini kita terima, maka cukuplah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah sebagai penasehat baginya. Inilah tawaran terbaik yang ditujukan kepada seorang muslim. Adapun bila ia seorang kafir, maka ia tidak akan mempedulikan para demonstran. Ia paling-paling hanya bermuka manis di hadapan mereka dan menyembunyikan niat jahat dalam hatinya. Karenanya, kami memandang bahwa demonstrasi adalah perkara munkar.
Adapun mereka yang mengatakan bahwa demonstrasi ini bersifat ‘damai’, maka boleh jadi ia memang damai awalnya atau pertama kalinya; namun kemudian menjadi tindak pengrusakan. Kunasehatkan agar para pemuda mengikuti ajaran para salaf, sebab Allah ta’ala telah memuji para muhajirin dan anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” (lihat: Al Jawabul Abhar hal 75).
Syaikh Shalih Al Fauzan pernah ditanya: “Apakah melakukan demonstrasi termasuk wasilah dakwah dalam memecahkan problematika umat Islam?”
Jawab beliau: “Agama kita bukanlah agama yang kacau. Agama kita adalah agama yang teratur, agama yang tertib dan tenang. Demonstrasi tidak termasuk prilaku kaum muslimin, dan tidak dikenal oleh kaum muslimin zaman dahulu. Agama Islam agama agama yang tenang, penuh rahmat, dan jauh dari kekacauan, gangguan, serta tidak menyulut fitnah. Inilah agama Islam. Hak-hak bisa diperjuangkan tanpa cara seperti ini, namun dengan menuntutnya secara syar’i dan dengan cara yang syar’i. Demonstrasi-demonstrasi seperti ini hanya menimbulkan berbagai macam fitnah, mengakibatkan pertumpahan darah, dan pengrusakan harta benda. Maka perkara ini hukumnya tidak boleh” (lihat: Al Ijaabaatil Muhimmah fil Masyaakil Al Mulimmah, oleh Muhammad al Hushain hal 100).
Wallaahu ta’ala a’lam.
(disadur dengan sedikit perubahan dari artikel berjudul: كشف شبهات مجوزي المظاهرات oleh Syaikh Abdul Aziz ar Rayyis).
[1] Artinya: Akan ada penguasa yang mementingkan diri sendiri dan merampas hak-hak rakyatnya, serta banyak berbuat maksiat.
yang saya tahu salafy mesir ikut serta demontrasi malah bikin partai segala apa sekarang fatwanya sudah berubah ya… he..he.. dulu keras bilang demontarasi bidah ketika suasana berubah pastilah fatwa berubah kalaupun nanti di Arab saudi terjadi revolusi apa mungkin ulama2 salafi akan merubah fatwanya ?
ustadz-ustadz copy paste
Assalaamu’alaikum wrwb.
Sudahlah saudaraku semuanya, kalian yg yakin salafy masuk surga tetaplah dijalur salafy, kalian yg mantap HT pioneer khilafah ya monggo saja, yang akan membuktikan adalah siapa diantara kita yang khusnul khotimah kelak, pesan saya sebagai petualang berislamlah dengan hikmah, apa itu hikmah, dialah ilmu, lembut yang dominan dan tegas saat dibutuhkan….
hayo ada yg bisa menolak saran saya.
Alhamdulillah… tercerahkan…
dan alhamdulillah kenal IM…
Mesir saat ini butuh kaum muslimin seluruh elemen manhaj da’wah…
kembalikan Al-Haq di Mesir… tujuan Muhammad Moursi hafizahullah adalah berujung pada pembebasan Al-Aqsha yg suci di Palestina
buat kang fahrul, bagaimana dengan ust khalid basalamah yang tidak melarang aksi bela islam, aksi bela quran…